Pertanyaan 3 : Tentang Ketunggalan Allah (Delapan Artikel)
Ketika
keberadaan suatu hal telah dipastikan masih ada pertanyaan lebih
lanjut tentang cara keberadaannya, agar kita dapat tahu esensinya.
Sekarang, karena kita tidak tahu seperti apakah Allah itu, melainkan
apa yang bukan Allah. Kita tidak memiliki sarana untuk
mempertimbangkan bagaimana Allah itu, melainkan bagaimana yang bukan
Allah itu. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan:
- Bagaimana yang bukan Ia;
- Bagaimana Ia dikenal oleh kita;
- Bagaimana Ia disebut.
Sekarang
dapat ditunjukkan bagaimana yang bukan Allah, dengan menyangkal
pemahaman apapun yang bertentangan dengan gagasan tentang-Nya, yaitu
pemahaman tentang komposisi, gerak, dan sejenisnya. Oleh karena itu
- Kita harus membahas ketunggalan-Nya, dimana kita menyangkal adanya komposisi pada-Nya; dan karena apa pun yang tunggal dalam hal-hal materia adalah tidak sempurna dan merupakan bagian dari sesuatu yang lain, maka kita akan membahas:
- Kesempurnaan-Nya;
- Kekekalan-Nya;
- Kemahakuasaan-Nya;
- Kesatuan-nya.
Tentang
ketunggalan-Nya, ada delapan poin penyelidikan:
- Apakah Allah adalah suatu tubuh?
- Apakah Ia terdiri dari materia dan forma?
- Apakah dalam diri-Nya ada komposisi hakekat, esensi atau sifat, dan subjek?
- Apakah Ia terdiri dari esensi dan keberadaan?
- Apakah Ia terdiri dari genus dan perbedaan?
- Apakah Ia terdiri dari subjek dan aksiden?
- Apakah Ia dengan cara apapun adalah komposit, atau sepenuhnya tunggal?
- Apakah Ia berkomposisi dengan hal-hal lain?
Artikel 1 : Apakah Allah adalah Suatu Zat?
Keberatan
1 :
Tampaknya Allah adalah suatu zat karena zat adalah sesuatu yang
memiliki
tiga dimensi. Tetapi Kitab Suci mengatribusikan tiga dimensi kepada
Allah, sebab ada tertulis: " Tingginya seperti langit--apa yang
dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati--apa yang dapat
kauketahui? Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas
dari pada samudera"(Ayub 11: 8, 9). Oleh karena itu Allah adalah
suatu zat.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, segala sesuatu yang memiliki bentuk adalah suatu zat,
karena
bentuk adalah kualitas dari suatu kuantitas. Tetapi Allah tampaknya
memiliki bentuk, sebab ada tertulis: "Baiklah kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa kita" (Kej. 1: 26). Sekarang,
bentuk disebut sebagai gambar, menurut teks: " Yang menjadi
kecemerlangan kemuliaan dan wujud-Nya" yaitu gambaran, "dari
substansi-Nya" (Ibrani 1: 3)1.
Oleh karena itu Allah adalah suatu zat.
Keberatan
3 :
Lebih lanjut, apa pun memiliki bagian jasmani adalah suatu zat.
Sekarang,
Kitab Suci mengatribusikan bagian jasmani kepada Allah. " Apakah
lenganmu seperti lengan Allah?" (Ayub 40:4); dan " Mata
TUHAN tertuju kepada orang-orang benar" (Mazmur 33:16); dan "
tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan" (Mazmur 117:16). Oleh
karena itu Allah adalah suatu zat.
Keberatan
4 :
Lebih lanjut, postur hanyalah milik dari zat. Tetapi dalam Kitab Suci
Allah
diandaikan memiliki postur : "Aku melihat Tuhan duduk" (Yes
6: 1), dan " TUHAN mengambil tempat untuk menuntut dan berdiri
untuk mengadili bangsa-bangsa" (Yes 3: 13). Oleh karena itu
Allah adalah suatu zat.
Keberatan
5 :
Lebih lanjut, hanya zat atau benda jasmani yang dapat menggunakan
istilah
yang berhubungan dengan lokasi "darimana" atau "kemana"
Tapi dalam Kitab Suci Allah disebut menggunakan istilah-istilah local
“pada” menurut kata-kata, " Tujukanlah pandanganmu
kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri" (Mazmur 33:6), dan
sebagai istilah "dari": orang-orang yang menyimpang dari
pada-Mu akan dilenyapkan di negeri" (Yeremia 17: 13). Oleh
karena itu Allah adalah suatu zat.
Sebaliknya,
Ada ditulis dalam Injil Yohanes (Yoh 4: 24): "Allah adalah Roh."
Aku
menjawab,
Adalah sungguh benar bahwa Allah bukanlah suatu zat; dan ini
akan
ditampilkan dalam tiga cara. Pertama, karena zat tidak bergerak
kecuali itu digerakkan, sebagaimana jelas dalam hal induksi. Sekarang
telah sudah terbukti (P[2], A[3]), bahwa Allah adalah Penggerak
pertama, dan Ia tak tergerakkan. Oleh karena itu sangat jelas bahwa
Allah bukanlah suatu zat. Kedua, karena keberadaan yang pertama harus
ada dalam aktualitas, bukannya potesialitas. Karena walaupun dalam
setiap hal yang berproses dari potensialitas menuju aktualitas,
potensialitas selalu mendahului aktualitas, tetapi, tepatnya,
aktualitas ada sebelum potensialitas, karena apapun yang ada dalam
potensialitas dapat direduksi menjadi aktualitas hanya oleh suatu
keberadaan yang berada dalam aktulitas. Sekarang telah dibuktikan
bahwa Allah adalah Keberadaan yang pertama. Oleh karena itu tidak
mungkin bahwa Tuhan harus ada dalam potensialitas apapun. Tapi setiap
zat ada dalam potensialitas karena ia terus berada dalam
potensialitas yang tak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa
Allah harus berupa zat. Ketiga, karena Allah adalah yang paling mulia
dari segala keberadaan. Sekarang tidaklah mungkin bagi zat untuk
menjadi yang paling mulia dari segala keberadaan karena zat harus
selalu dalam keadaan dapat bergerak ataupun tidak dapat bergerak; dan
zat yang dapat bergerak adalah lebih mulia dari zat yang tak dapat
bergerak. Tapi zat yang dapat bergerak tidak secara tepat bergerak
sebagai satu zat, karena jika demikian maka seluruh zat pada saat
yang bersamaan akan bergerak. Oleh karena gerakannya tergantung dari
benda lain, seperti tubuh kita bergerak tergantung dari jiwa kita.
Maka sesuatu yang menggerakkan zat adalah lebih mulia dari zat.
Dengan demikian tidaklah mungkin bahwa Allah adalah suatu zat.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Seperti yang telah kita bahas di atas (P [1],
A[9]),
Kitab Suci menjelaskan bagi kita hal-hal spiritual dan Ilahi dalam
perbandingan dengan hal-hal jasmani. Oleh karena itu, ketika hal-hal
tiga dimensi tentang makhluk jasmani itu diatribusikan kepada Allah,
ini menyiratkan kuantitas-Nya yang sesungguhnya. Dengan demikian,
tentang kedalaman, hal itu menandakan kekuatan-Nya untuk mengetahui
hal-hal tersembunyi; tentang ketinggian, adalah tentang kekuasaan-Nya
yang teramat luar biasa; tentang panjang, adalah tentang durasi
keberadaan-Nya; tentang luas, adalah tentang tindakannya cinta-Nya
untuk semua. Atau, seperti yang dikatakan Dionysius (Div. Nom. ix),
dengan kedalaman Allah yang dimaksudkan adalah
ketidakdapatdimengertian tentang esensi-Nya; dengan panjang, adalah
prosesi semua kuasa-Nya; dengan luas, adalah Ia menjangkau segala
sesuatu, sebab segala sesuatu berada di bawah perlindungan-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Manusia dikatakan sebagai gambar Allah,
tidak
mengenai tubuhnya, tetapi sehubungan dengan bagaimana ia mengungguli
hewan lainnya. Oleh karena itu, ketika dikatakan, "Baiklah kita
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita", ada
ditambahkan, "dan biarkan Dia berkuasa atas ikan di laut"
(Kej. 1: 26). Sekarang manusia unggul atas semua hewan oleh nalar dan
akalnya; maka dalam hal memiliki akal dan nalar, yang bukan merupakan
hal-hal jasmani, manusia dikatakan serupa dengan gambar Allah.
Tanggapan
terhadap Keberatan 3 :
Hal-hal jasmani diatribusikan kepada Allah
dalam
Kitab Suci untuk menyatakan tindakan-Nya, dan ini adalah karena
paralel tertentu. Misalnya tindakan mata adalah untuk melihat; maka
mata yang dikaitkan dengan Allah menandakan kekuasaan melihat melalui
akal, bukannya indrawi; dan seterusnya dengan hal-hal lain.
Tanggapan
terhadap Keberatan 4 :
Apapun yang berkenaan dengan postur, juga,
hanya
diatribusikan kepada Allah dengan semacam paralel. Ia disebut duduk
karena ketaktergerakkan-Nya dan dominasi-Nya; dan sebagai berdiri,
karena kekuasaan-Nya melampaui apa pun yang ada dihadapan-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 5 :
Kita menghampiri Allah bukan melalui langkah
jasmani,
karena ia ada di mana-mana, tetapi dengan jiwa kita, dan dengan
tindakan jiwa yang sama kita undur dari-Nya; dengan demikian, untuk
mendekat atau undur dari-Nya hanya menandakan tindakan rohani,
berdasarkan metafora terhadap tindakan bergerak.
Artikel 2 : Apakah Allah Terdiri dari Materia dan Forma?
Keberatan
1 :
Tampaknya bahwa Allah terdiri dari materia dan forma karena apa
pun
yang memiliki jiwa selalu terdiri dari materia dan forma2;
sebab jiwa adalah forma
dari tubuh3.
Tetapi Kitab Suci mengatribusikan jiwa kepada Allah; karena
disebutkan dalam Surat kepada Jemaat di Ibrani (Ibrani 10: 38),
dimana Allah menyatakan: "Tetapi orang-orang-Ku yang benar hidup
oleh iman, tetapi jika dia menarik dirinya, ia tidak akan memuaskan
jiwa-Ku"4.
Oleh karena itu Allah terdiri dari materia dan forma.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, kemarahan, sukacita dan sejenisnya adalah gairah dari
suatu
komposit. Tapi hal-hal tersebut diatribusikan kepada Allah dalam
Kitab Suci: "Tuhan sungguh murka pada umat-Nya" (Mazmur
105:40). Oleh karena itu Allah terdiri dari materia dan forma.
Keberatan
3 :
Lebih lanjut, materia adalah principal dari individualisasi. Tetapi
Allah
tampaknya
individual, karena Ia tidak ada banyak. Oleh karena itu ia terdiri
dari material dan forma.
Sebaliknya,
Apa pun yang terdiri dari materia dan forma adalah suatu tubuh;
karena
sifat
dimensional dari suatu kuantitas adalah ciri pertama dari materia.
Tetapi Allah bukanlah suatu tubuh seperti telah dibuktikan dalam
artikel sebelumnya. Oleh karena itu Allah tidak terdiri dari materia
dan forma.
Aku
menjawab bahwa,
Adalah mustahil bahwa dalam Allah ada materia. Pertama,
karena
materia selalu berada dalam potensialitas. Tapi kita telah
menunjukkan (P [2], A[3]) bahwa Allah adalah aktualitas murni, tanpa
ada potensialitas di dalam-Nya. Karena itu mustahil bahwa Allah
terdiri dari materia dan forma. Kedua, karena segala sesuatu yang
terdiri dari materia dan forma mengandalkan kesempurnaannya pada
forma; oleh karena itu kebaikannya adalah kebaikan karena
keikutsertaan, sejauh materia ikut serta dalam bentuk. Sekarang
sesuatu yang pertama dan terbaik---yaitu Allah---bukanlah kebaikan
karena keikutsertaan, karena kebaikan
yang utama telah ada sebelum kebaikan karena keikutsertaan. Karena
itu mustahil bahwa Allah terdiri dari materia dan forma.
Ketiga,
karena setiap agen bertindak melalui formanya; oleh karena itu
caranya memiliki forma adalah caranya berada sebagai agen. Oleh
karena itu jika suatu agen bersifat utama dan pokok dalam hal apapun,
ia juga harus utama dan pokok dalam formanya. Sekarang, Allah adalah
agen pertama, karena Ia adalah Penyebab efisien pertama. Karena itu,
Ia dalam esensi-Nya adalah suatu forma, dan tidak terdiri dari
materia dan forma.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Jiwa diatribusikan kepada Allah karena
perbuatan-perbuatan-Nya
yang menyerupai tindakan jiwa; bahwa kita menghendaki sesuatu, adalah
karena jiwa kita. Oleh karena itu apa berkenan kepada kehendak-Nya
dikatakan menyenangkan untuk jiwa-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Kemarahan dan sejenisnya diatribusikan
kepada
Allah karena kesamaan efek. Dengan demikian, karena untuk menghukum
adalah tindakan dari orang yang marah, hukuman Tuhan adalah secara
metaforis disebut sebagai kemarahan-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 3 :
Forma yang dapat diterima dalam materia
menjadi
terindividualisasi oleh materia, yang tidak dapat berada di sesuatu
lainnya sebagai subjek karena forma tersebut adalah subjek dari
materia itu sendiri; meskipun forma itu sendiri dapat diterima oleh
banyak materia lainnya, kecuali sesuatu yang lain mencegah hal
tersebut. Tapi forma yang tidak bisa diterima dalam materia, tetapi
dalam dan dari dirinya sendiri ada, menjadi sungguh
terindividualisasi karena forma tersebut tidak bisa diterima dalam
suatu subjek, dan forma semacam itu adalah Allah. Maka tidak berarti
bahwa Allah harus memiliki materia.
Artikel 3 : Apakah Tuhan Sama dengan Esensi atau Hakikat-Nya?
Keberatan
1 :
Tampaknya Allah tidak sama dengan esensi atau hakikat-Nya, karena
tidak
ada yang bisa ada dalam dirinya sendiri. Tetapi substansi atau
hakikat Allah---
yaitu
Ke-Allahan---dikatakan ada dalam Allah. Oleh karena itu tampaknya
Allah tidak sama dengan esensi atau hakikat-Nya.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, efek dihubungkan dengan penyebabnya; karena setiap
agen
menghasilkan sesuatu yang serupa dengan dirinya. Tapi dalam ciptaan,
"suppositum"5
tidaklah identik dengan hakikatnya; karena manusia tidaklah sama
dengan kemanusiaannya. Oleh karena itu Allah tidak sama dengan
ke-Allahan-Nya.
Sebaliknya,
Dikatakan mengenai Allah bahwa Ia adalah kehidupan itu sendiri, dan
tidak
hanya sekedar bahwa Ia adalah sesuatu yang hidup: "Akulah jalan,
kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14: 6). Sekarang hubungan antara
ke-Allahan dan Allah adalah sama seperti hubungan antara kehidupan
dan makhluk hidup. Oleh karena itu Allah adalah sungguh
ke-Allahan-Nya.
Aku
menjawab bahwa,
Tuhan adalah sama dengan esensi atau hakikat-Nya. Untuk
memahami
hal ini, harus diperhatikan bahwa dalam hal-hal yang terdiri dari
materia dan forma, hakikat atau esensi harus berbeda dari
"suppositum," karena esensi atau hakikat menjelaskan hanya
apa yang termasuk dalam definisi tentang spesies; seperti kemanusiaan
menjelaskan semua yang termasuk dalam definisi tentang manusia,
karena adalah dengan kemanusiaan maka manusia menjadi manusia, dan
tentang manusia inilah yang dijelaskan dalam kemanusiaan, yaitu,
bahwa manusia adalah manusia. Sekarang materia individual, dengan
segala aksiden6
yang mengindividualisasikannya, tidak termasuk dalam definisi tentang
spesies, karena daging tertentu ini, tulang tertentu ini, hitam atau
putihnya individu ini, dll, tidak termasuk dalam definisi tentang
manusia. Oleh karena itu daging ini , tulang ini dan kualitas
aksidental yang membedakan materia tertentu ini, tidak termasuk dalam
kemanusiaan; namun mereka termasuk dalam hal-hal tentang manusia.
Oleh karena itu hal yang ada dalam seorang manusia adalah lebih dari
sekedar kemanusiaannya. Akibatnya kemanusiaan dan manusia tidak
sepenuhnya sama; tetapi kemanusiaan diambil untnuk mengartikan bagian
formal dari seorang manusia, karena prinsip-prinsip yang
mendefinisikan suatu hal adalah unsur formal yang pokok dalam suatu
materia yang terindividualisasi. Di lain pihak, dalam hal-hal yang
tidak terdiri dari materia dan forma, di mana individualisasi bukan
tentang materia individual--- katakanlah, materia “ini”---maka
forma terindividualisasi oleh dirinya sendiri --- sehingga
forma itu sendiri menjadi “supposita”. Maka “suppositum” dan
hakikat mereka menjadi teridentifikasi. Karena Allah tidak terdiri
dari materia dan forma, maka ke-Allahan-Nya adalah Ia sendiri,
kehidupan-Nya sendiri, dan hal apa pun yang diperdikasikan pada-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Kita dapat berbicara tentang hal-hal sederhana
hanya
seolah-olah mereka merupakan hal-hal komposit yang menyusun
pengetahuan kita. Oleh karena itu dalam berbicara tentang Allah, kita
menggunakan kata benda konkrit untuk menandakan subsistensi-Nya,
karena bagi kita, hanya hal-hal kompositlah yang ada; dan kita
menggunakan kata benda abstrak untuk
menandakan
kesederhanaan-Nya. Dalam mengatakan bahwa ke-Allahan, kehidupan atau
sejenisnya yang ada dalam Allah, kita menggunakan cara komposit yang
dipahami oleh akal kita, tetapi tidak berarti bahwa ada komposisi
dalam Allah7.
Tanggapa
terhadap Keberatan 2 :
Efek dari Allah tidak mengimitasi diri-Nya secara
sempurna,
tapi hanya sejauh yang mereka dapat; dan imitasi di sini tidak
sempurna justru karena apa yang sederhana dan satu, hanya dapat
diwakili oleh beberapa hal; Akibatnya, komposisi menjadi aksiden
untuk hal-hal tersebut, dan oleh karena itu, dalam diri mereka,
"suppositum" tidaklah sama dengan hakikat.8
Artikel 4 : Apakah dalam Allah Esensi dan Keberadaan adalah Sama?
Keberatan
1 :
Tampaknya dalam Allah esensi dan keberadaan tidaklah sama9.
Jika
menjadi
demikian, maka terhadap keberadaan ilahi tidak ada sesuatu pun yang
dapat di ditambahkan. Sekarang suatu keberadaan yang tidak ditambahi
apapun padanya adalah suatu keberadaan universal yang dipredikasikan
kepada segala hal. Jika demikian maka Allah adalah suatu keberadaan
dalam arti umum yang dapat dipredikasikan pada segala sesuatu. Tapi
ini keliru : "Karena manusia memberikan nama dengan pemahaman
tertentu pada kayu dan batu" (Keb 14: 21). Oleh karena itu
keberadaan Allah tidak sama dengan esensi-Nya.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui apakah Allah ada seperti yang
dikatakan
di atas (P [2], A[2]); Tapi kita tidak tahu "apa" Allah
itu. Oleh karena itu keberadaan Allah adalah tidak sama dengan
esensi-Nya---yaitu sebagai hakekat atau inti-Nya.
Sebaliknya,
Hilary mengatakan (Trin. vii): "Dalam Allah keberadaan bukanlah
suatu
kualitas
aksidental, tetapi merupakan kebenaran yang menjadikan ada
(subsisting
truth)."
Oleh karena itu apa yang ada dalam Allah adalah keberadaan-Nya.
Aku
menjawab bahwa,
Allah bukan hanya esensi-Nya sendiri, seperti yang
ditunjukkan
dalam artikel sebelumnya, tetapi juga keberadaan-Nya sendiri. Ini
dapat ditunjukkan dalam beberapa cara. Pertama, apa pun yang dimiliki
oleh sesuatu selain esensinya, harus disebabkan oleh principal pokok
dari esensi tersebut (seperti sebuah kelayakan yang selalu menyertai
spesies---contohnya hal tertawa adalah hal yang layak bagi seorang
manusia---dan disebabkan oleh principal pokok dari spesies tersebut).
Yang kedua adalah disebabkan oleh agen eksterior---seperti air yang
menjadi panas karena disebabkan oleh api. Oleh karena itu, jika
keberadaan dari sesuatu berbeda dari esensinya, keberadaan tersebut
harus disebabkan oleh agen eksterior atau oleh principal pokoknya.
Sekarang tidak mungkin keberadaan sesuatu hal adalah karena
disebabkan oleh principal pokoknya, karena tidak ada yang dapat
menjadi penyebab dari keberadaannya sendiri, jika keberadaannya itu
adalah merupakan suatu akibat. Oleh karena itu, pada suatu keberadaan
yang berbeda dari esensinya, keberadaannya tersebut harus disebabkan
oleh suatu keberadaan lain. Tapi keberadaan Allah tidak seperti itu;
karena Allah kita sebut sebeagai kausa efisien pertama. Oleh karena
itu mustahil bahwa keberadaan Allah berbeda dari esensi-Nya10.
Kedua, keberadaan adalah sesuatu yang membuat setiap bentuk atau
hakikat menjadi aktual; karena kebaikan dan kemanusiaan dikatakan
aktual, hanya jika dibicarakan tentang keberadaannya. Oleh karena itu
keberadaan harus dibandingkan dengan esensi, jika esensi adalah
sebuah realitas yang berbeda dari keberadaan, seperti aktualitas
dibandingkan dengan potensialitas. Oleh karena itu, karena dalam
Allah tidak ada potensialitas, seperti yang ditunjukkan di atas
(A[1]), maka di dalam Dia esensi tidak berbeda dari keberadaan. Oleh
karena itu esensi-Nya adalah keberadaan-Nya11.
Ketiga, karena, seperti yang telah terbakar oleh api, tetapi tidak
api itu sendiri, adalah ada dalam api karena keikutsertaan; sehingga
ikut ada tetapi bukan keberadaan itu sendiri, adalah suatu keberadaan
karena keikutsertaan. Tetapi Allah adalah esensi-Nya sendiri, seperti
yang ditunjukkan di atas (A[3]) oleh karena itu, jika Ia bukan
keberadaan-Nya sendiri maka Ia bukan ada secara esensial, tapi ada
karena ikut serta. Jika demikian, maka Ia bukanlah keberadaan yang
pertama---yang adalah absurd. Oleh karena
itu Allah adalah keberadaan-Nya sendiri, dan bukan hanya sekedar
esensi-Nya sendiri.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Sesuatu yang tidak tertambahi apapun ke
dalamnya
dapat menjadi dua jenis. Yang pertama adalah sesuatu yang esensinya
memang tidak bisa ditambahi, contohnya, adalah esensi dari binatang
irasional yang kedalamnya tidak bisa ditambahi sifat rasional. Jenis
yang kedua adalah suatu esensi yang tidak memerlukan apapun untuk
ditambahkan padanya, jadi genus binatang adalah tanpa sifat rasional,
karena secara umum bukanlah esensi dari binatang untuk memiliki sifat
rasional. Maka ke dalam keberadaan ilahi tidak dapat ditambahi
apapun, sedangkan dalam keberadaan universal tidak perlu ditambahi
apapun.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
"Ada" dapat berarti salah satu dari dua hal. Ini
mungkin
berarti tindakan dari esensi, atau mungkin berarti komposisi
proposisi yang dilakukan oleh pikiran dalam mengenakan suatu predikat
pada suatu subyek. Dalam artian “ada” yang pertama, kita tidak
dapat memahami keberadaan Allah ataupun esensi-Nya; tapi kita hanya
memahaminya dalam pengertian kedua. Kita tahu bahwa proposisi “Allah
ada” adalah benar, dan ini kita ketahui dari efek-Nya (P [2], A
[2]).
Artikel 5 : Apakah Allah Termasuk dalam Suatu Genus?
Keberatan
1 :
Tampaknya Allah termasuk dalam suatu genus, karena suatu
substansi
adalah suatu keberadaan yang ada pada dirinya sendiri.12
Tetapi Allah ada dalam diri-Nya sendiri. Oleh karena itu Allah ada
dalam genus substansi.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, tidak suatupun dapat diukur kecuali oleh genusnya
sendiri;
seperti panjang diukur dengan panjang dan angka oleh angka. Tetapi
Allah adalah ukuran dari segala substasnsi, seperti ditunjukkan oleh
Komentator (Metaph. x). Oleh karena itu Allah termasuk dalam genus
substansi.
Sebaliknya,
Dalam pikiran, genus telah ada sebelum sesuatu yang terkandung di
dalamnya
ada. Tapi tidak ada sesuatupun yang ada, baik secara nyata maupun
hanya dalam pikiran. Oleh karena itu Allah tidak terkandung dalam
genus apapun.
Aku
menjawab bahwa, Sesuatu
dapat ada dalam suatu genus dengan dua cara;
secara
absolute dan secara tatanan, seperti suatu spesies yang terkandung
dalam suatu genus13;
atau seperti sesuatu yang direduksi hingga menuju suatu genus,
seperti suatu principal dan suatu kekurangan. Sebagai contoh, suatu
titik dan suatu kesatuan direduksi ke dalam genus kuantitas sebagai
prinsipalnya; Sementara kebutaan dan semua kekurangan lain yang
dimasukkan dalam untuk genus kondisi. Tapi dalam cara apapun Allah
tidak termasuk dalam suatu genus. Bahwa Ia tidak dapat menjadi suatu
spesies dari suatu genus dapat ditunjukkan dalam tiga cara. Pertama,
spesies dihasilkan dari genus dan perbedaan. Sekarang, perbedaan yang
darinya suatu spesies diketahui, selalu berhubungan dengan sesuatu
yang darinya suatu genus berasal, seperti aktualitas yang dihubungkan
dengan potensialitas14.
Karena binatang berasal dari suatu hakikat yang mampu mengindera,
sebagai suatu perwujudan dari hakikat tersebut, karena binatang
adalah sesuatu yang mempunyai kemampuan untuk mengindera. Makhluk
rasional, di sisi lain, dikelompokkan dalam hakikat berakal, karena
sesuatu disebut rasional, jika memiliki akal, dan akal dibandingkan
dengan rasa, seperti aktualitas dibandingkan dengan potensialitas.
Argumen yang sama berlaku baik dalam hal-hal lain. Maka karena dalam
Allah tidak terdapat potensialitas yang berubah menjadi aktualitas,
adalah mustahil bahwa Allah harus berada di bawah genus sebagai suatu
spesies. Kedua, karena keberadaan Allah adalah sekaligus esensi-Nya.
Jika Allah berada di bawah suatu genus, Ia seharusnya berada di bawah
genus "keberadaan". Karena genus dipredikasikan sebagai
suatu hal yang esensial, maka genus berhubungan dengan esensi dari
suatu hal. Tapi sang Filsuf telah menunjukkan (Metaph. iii) bahwa
“keberadaan” tidak dapat menjadi suatu genus, karena setiap genus
memiliki esensi yang berbeda. Sekarang, keberadaan tidak memilik
pembeda dengan hal lain, karena ketidakberadaan tidak dapat dijadikan
suatu pembeda15.
Dengan demikian Allah yang
tidak termasuk dalam genus apapun. Ketiga, karena hal-hal yang berada
dalam satu genus memiliki kesamaan hakekat atau esensi dari genus
yang dipredikasikan pada mereka, tetapi hal-hal tersebut saling
berbeda dalam keberadaan mereka, karena keberadaan manusia dan kuda
tidaklah sama; juga keberadaan orang ini dan orang itu tidaklah sama.
Maka dalam setiap anggota genus, keberadaan harus berbeda dengan
hakekat---yaitu esensinya. Tapi dalam Allah keberadaan dan esensi
tidaklah berbeda, seperti yang telah ditunjukkan dalam artikel
sebelumnya. Oleh karena itu jelas bahwa Allah tidak termasuk dalam
genus apapun, seolah-olah Ia adalah suatu spesies. Dari ini juga
jelas bahwa Ia tidak memiliki genus atau pembeda, tidak juga ada
definisi tentang-Nya; tidak juga ada pembuktian tentang-Nya, kecuali
lewat efek-efek-Nya, karena suatu definisi berhubungan dengan genus
dan pembeda, dan suatu pembuktian hanya bisa terjadi melalui
definisi. Bahwa Allah tidak memiliki suatu genus sebagai
principal-Nya,adalah jelas dari hal berikut, bahwa suatu principal
yang dapat direduksi ke dalam suatu genus tidak akan menjangkau
hal-hal di luar genus tersebut, seperti suatu titik hanya merupakan
principal dari kuantitas berkesinambungan, sedangkan untuk kuantitas
tak berkesinambungan ada di bawah principal kesatuan. Tetapi Allah
adalah principal dari segala sesuatu. Oleh karena itu Ia tidak
terdapat dalam genus apapun sebagai principal-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Kata “substansi” tidak hanya mengacu pada
cara
keberadaan sesuatu---karena keberadaan sendiri tidak dapat menjadi
suatu genus, seperti yang ditunjukkan dalam tubuh artikel ini; Tapi,
kata itu juga menandakan esensi yang memiliki cara keberadaan yang
demikian---yaitu, ada dalam dirinya sendiri; Namun, keberadaan ini
bukanlah esensinya. Dengan demikian jelas bahwa Allah tidak termasuk
dalam genus substansi.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Keberatan ini mengacu pada sarana ukur
proporsional
yang harus homogen dengan apa yang diukur. Sekarang, Allah bukanlah
sarana ukur yang sebanding dengan apapun. Namun, Ia tetap disebut
sebagai sarana ukur terhadap segala sesuatu, dalam pemahaman bahwa
segala sesuatu memiliki keberadaan dalam cara menyerupai
keberadaan-Nya16.
Artikel 6 : Apakah dalam Allah Terdapat Aksiden?
Keberatan
1 :
Tampaknya dalam Allah ada aksiden, karena suatu substansi tidak
bisa
menjadi akesiden, sebagaimana dikatakan Aristoteles (Phys. i). Oleh
karena itu apa yang menjadi aksiden di suatu tempat, tidak bisa
menjadi substansi di tempat lain. Dengan demikian terbukti bahwa
panas tidak dapat menjadi bentuk substatnsial dari api, karena panas
adalah aksiden dalam hal lain. TApi kebijaksanaan, kebajikan dan
sejenisnya, yang merupakan aksiden pada diri kita, diatribusikan pada
Allah. Maka dalam Allah ada aksiden.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, dalam setiap genus ada prinsipal pertama. Tetapi ada
banyak
"genera" [cat.
: bentuk jamak dari genus]
untuk banyak aksiden. Maka, jika tiap principal pertama tersebut
tidak ada dalam Allah, maka aka nada keberadaan prima lainnya selain
Allah—yang adalah absurd.
Sebaliknya,
Setiap aksiden ada dalam suatu subjek. Tetapi Allah tidak dapat
menjadi
subjek, karena "suatu forma sederhana tidak dapat menjadi suatu
subjek ", sebagai dikatakan Boethius (De Trin.). Oleh karena itu
dalam Allah tidak ada aksiden.
Aku
menjawab bahwa,
Dari semua yang telah kita katakan, adalah jelas bahwa
dalam
Allah tidak ada aksiden. Pertama, karena suatu subjek dibandingkan
dengan aksidennya sebagai suatu potensialitas menuju kepada
aktualitas, karena suatu subjek dalam pengertian tertentu dijadikan
actual oleh aksiden-aksidennya. Tapi tidak ada potensialitas dalam
Allah, sebagaimana telah ditunjukkan (P[2], A[3]). Kedua, karena
Allah adalah keberadaan-Nya sendiri; dan sebagaimana dikatakan
Boethius (Hebdom.), meskipun setiap esensi mungkin punya sesuatu yang
ditambahkan padanya, ini tidak berlaku untuk keberadaan yang absolut:
dengan demikian suatu substansi yang menerima panas dapat menerima
sesuatu selain panas, sebagaimana warna putih, namun panas yang
absolute tidak memiliki apapun selain panas di dalamnya17.
Ketiga, karena esensi telah ada terlebih dahulu daripada aksiden.
Karena Allah adalah keberadaan prima yang absolute, maka tidak ada
aksiden di dalam-Nya. Tidak pula Ia memiliki aksiden esensial apapun
(sebagaimana kemampuan untuk tertawa adalah suatu aksiden esensial
dalam manusia) , karena aksiden semacam itu disebabkan oleh principal
pokok suatu subjek. Sekarang, tidak ada penyebab dalam Allah, karena
Ia sendiri adalah Penyebab pertama. Maka tidak ada aksiden dalam
Allah.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Kebajikan dan kebijaksanaan tidak
dipredikasikan
pada Allah dan pada diri kita dalam cara yang sama. Maka tidak
berarti ada aksiden dalam Allah seperti yang ada pada kita.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 : Karena
substansi ada terlebih dahulu daripada
aksiden,
principal-prinsipal dari aksiden ditarik mundur sampai pada
principal-prinsipal substansi tersebut sebagai sesuatu yang telah ada
terlebih dahulu, seolah-olah terkandung dalam genus substansi
tersebut. Namun Allah adalah yang keberadaan yang pertama, dan berada
di luar genus apapun.
Artikel 7 : Apakah Allah Sepenuhnya Tunggal?
Keberatan
1 :
Tampaknya Allah tidak sepenuhnya tunggal, karena apa pun yang
berasal
dari Allah harus mengimitasi dia. Dengan demikian keberadaan yang
pertama adalah asal dari segala keberadaan; dan dari kebaikan yang
pertama muncul segala kebaikan. Tapi dalam hal-hal yang diciptakan
Allah, tidak ada satupun yang sepenuhnya tunggal. Oleh karena itu
Allah juga tidak sepenuhnya tunggal.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, apa pun terbaik harus dikaitkan kepada Allah. Tetapi
kita
melihat
bahwa suatu komposit lebih baik daripada sesuatu yang sepenuhnya
tunggal; dengan demikian, senyawa kimia lebih baik daripada sekedar
unsur-unsur yang sepenuhnya tunggal, dan hewan lebih baik daripada
bagian-bagian yang membentuk mereka. Oleh karena itu tidak dapat
dikatakan bahwa Allah sama sekali sepenuhnya tunggal.
Sebaliknya,
Agustinus mengatakan (De Trin. iv, 6,7): "Allah sungguh dan
secara
absolut
tunggal."
Aku
menjawab bahwa,
Ketunggalan absolut Allah dapat ditampilkan dalam banyak
cara.
Pertama, dari artikel sebelumnya dalam pertanyaan ini. Karena ada
tidak komposisi kuantitatif yang menjadi bagian dalam Allah, karena
Ia bukanlah suatu zat; juga bukan komposisi materia dan forma; juga
tidak hakikat-Nya yang berbeda dari "suppositum"-Nya;
maupun esensi dari keberadaan-Nya; tidak ada pula di dalam-Nya
komposisi dari genus dan perbedaan, maupun dari subjek dan aksiden.
Oleh karena itu, jelas bahwa Allah bukanlah suatu komposit, tapi sama
sekali tunggal. Kedua, karena setiap komposit ada setelah disusun
oleh komponen-komponennya, dan bergantung pada mereka; tetapi Allah
adalah keberadaan yang pertama, seperti yang ditunjukkan di atas (P
[2], A[3]). Ketiga, karena setiap komposit memiliki suatu penyebab,
karena hal-hal yang berbeda tidak bisa bersatu kecuali ada sesuatu
yang menyebabkan mereka bersatu. Tetapi Allah tidak disebabkan oleh
apapun, seperti yang ditunjukkan di atas (P [2], A[3]), karena Ia
adalah penyebab efisien pertama. Keempat, karena dalam setiap
komposit harus ada potensialitas dan aktualitas; Tapi ini tidak
berlaku untuk Allah; karena dalam komposit salah satu bagian
mengaktualisasikan yang lain, atau setidaknya semua bagian memiliki
potensialitas bagi keseluruhan komposit. Kelima, karena tidak ada
komposit yang dapat dipredikasikan pada salah satu bagiannya. Dan ini
jelas dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang
berbeda; karena tidak ada bagian dari seorang laki-laki yang adalah
sekaligus seorang laki-laki, atau salah satu bagian kaki adalah
keseluruhan kaki. Tetapi dalam suatu keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian yang sama, meskipun sesuatu yang dipredikasikan pada
keseluruhan, dapat dipredikasikan pada bagian (sebagaimana bagian
dari udara adalah udara, dan bagian dari air adalah air), namun
demikian terdapat hal-hal tertentu yang dapat dipredikasikan pada
keseluruhan namun tidak bisa dipredikasikan pada bagian; misalnya,
jika seluruh volume air adalah dua cubit, maka dua hasta tidak bisa
dipredikasikan pada bagian-bagian air itu. Dengan demikian dalam
setiap komposit terdapat sesuatu yang bukan merupakan dirinya
sendiri. Namun, bahkan jika hal ini bisa dikatakan pada apa pun yang
memiliki forma, yaitu bahwa ia memiliki sesuatu yang bukan dirinya
sendiri, seperti dalam objek berwarna putih ada sesuatu yang bukan
merupakan esensi dari putih; Namun demikian
dalam forma sendiri, tidak ada apapun selain dirinya sendiri. Dengan
demikian, karena Allah adalah suatu forma absolut, atau keberadaan
absolut, Ia bisa ada tanpa melalui komposit. Hilary menyiratkan
argumen ini, ketika ia berkata (De Trin. vii): "Allah, yang
adalah kekuatan, tidak terdiri dari hal-hal yang lemah; juga tidak
bahwa Ia yang adalah cahaya, terdiri dari hal-hal yang redup."
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Apa pun yang dari Allah adalah meniru Dia,
seperti
hal-hal yang disebabkan meniru sebab pertama. Tetapi esensi dari
hal-hal tersebut harus ada dalam semacam komposit; karena setidaknya
keberadaannya berbeda dari esensinya, seperti yang akan ditunjukkan
selanjutnya, (P [4], A[3]).
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Pada kita, hal-hal komposit lebih baik daripada
hal-hal
tunggal, karena kesempurnaan dari kebaikan dalam ciptaan tidak
ditemukan dalam satu hal yang tunggal, tetapi dalam banyak hal. Tapi
kesempurnaan kebaikan Ilahi ditemukan dalam satu hal yang tunggal(P
[4], [1] dan P [6], A[2]).
Artikel 8 : Apakah Allah Masuk ke Dalam Komposisi dengan Hal-hal Lain?
Keberatan
1 : Tampaknya
Allah masuk ke dalam komposisi hal-hal lain, karena
Dionysius
mengatakan (Coel. Hier. IV): "Ke-Allah-an adalah keberadaan dari
segala sesuatu yang mengatasi semua keberadaan." Tetapi
keberadaan segala sesuatu masuk ke dalam komposisi dari segala
sesuatu. Oleh karena itu Allah masuk ke dalam komposisi dengan
hal-hal lain.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, Tuhan adalah suatu forma; karena Agustinus
mengatakan
(De Verb. Dom., [* Serm. xxxviii]) bahwa, "Firman Allah, yang
adalah Allah, merupakan suatu forma yang tak terciptakan." Tapi
forma merupakan bagian dari suatu senyawa. Oleh karena itu Allah
adalah bagian dari beberapa senyawa.
Keberatan
3 :
Lebih lanjut, segala sesuatu yang ada, yang dalam cara apapun tidak
memiliki
perbedaan dari sesuatu lainnya, adalah sama satu dengan lainnya.
Tetapi Allah dan materia utama ada, dan dalam cara apapun tidak
saling berbeda. Oleh karena itu mereka adalah benar-benar sama.
Tetapi materia utama masuk ke dalam komposisi. Oleh karena itu Allah
masuk ke dalam komposisi. Bukti dari premis minor tersebut adalah
bahwa hal-hal apa pun yang berbeda, mereka dibedakan dengan beberapa
perbedaan, dan oleh karena itu harus merupakan suatu komposit. Tetapi
Allah dan materia utama sama sekali sederhana. Oleh karena itu mereka
sama sekali sama satu dengan yang lain.
Sebaliknya,
Dionysius mengatakan (Div. Nom. ii): "Tak ada yang dapat
menyentuh-Nya," yaitu Allah, "dan tidak ada persatuan
apapun dengan Dia melalui pembauran bagian dengan bagian."18
Lebih lanjut, suatu sebab pertama mengatur segala sesuatu
tanpa bercampur dengan mereka, seperti dikatakan oleh sang Filsuf (De
Causis).
Aku
menjawab bahwa,
Pada titik ini ada tiga kesalahan. Beberapa telah
menegaskan
bahwa Allah adalah jiwa dari dunia, seperti yang dijelaskan oleh
Augustine (De Civ. Dei vii, 6). Ini adalah hampir sama dengan
pendapat mereka yang menegaskan bahwa Allah adalah jiwa dari surga
yang paling tinggi. Juga, orang lain telah mengatakan bahwa Allah
adalah prinsip formal dari segala sesuatu; dan ini adalah teori
Almaricians. Kesalahan ketiga adalah David Dinant, yang dengan sangat
absurd mengajarkan bahwa Allah adalah materia utama. Sekarang
semuanya ini berisi ketidakbenaran yang jelas; karena tidak mungkin
bagi Allah untuk masuk ke dalam komposisi dari apa pun, baik sebagai
prinsip forma atau materia. Pertama, karena Allah adalah penyebab
efisien pertama. Sekarang penyebab efisien tidak identik dalam hal
jumlah dengan forma yang disebabkannya, tetapi hanya secara khusus:
seperti manusia melahirkan manusia. Tetapi materia utama dapat tidak
identik dalam hal jumlah maupun secara spesifik dengan dengan suatu
penyebab efisien; karena materia utama hanya sekedar suatu
potensialitas, sedangkan suatu penyebab efisien berada dalam
aktualitas. Kedua, karena Allah adalah penyebab efisien pertama, maka
Allah bertindak secara primer dan melalui esensi-Nya. Namun sesuatu
yang masuk ke dalam suatu komposisi dengan sesuatu lainnya, tidak
bertindak secara primer dan esensial, melainkan komposit itulah yang
bergerak; seperti tangan tidak bertindak, tetapi manusialah yang
bertindak melalui tangannya; dan, api menghangatkan sesuatu melalui
panasnya. Maka Allah tidak dapat menjadi bagian dari suatu senyawa.
Ketiga, karena tidak ada bagian dari senyawa dapat benar-benar
bersifat primal dalam suatu keberadaan ---bahkan materia atau forma
sekalipun, meskipun mereka adalah bagian primal dari setiap senyawa.
Karena materia hanya bersifat potensial; dan potensialitas secara
absolute ada setelah aktualitas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya (P
[3], A[1]): saat suatu forma yang merupakan bagian dari senyawa
adalah bersifat ikut serta, dan karena sesuatu yang berpartisipasi
ada setelah sesuatu yang esensial ada, maka begitulah sesuatu yang
ada karena keikutsertaan; seperti api dalam objek yang menyala ada
setelah sebelumnya ada api secara esensial. Sekarang sudah terbukti
bahwa Allah adalah benar-benar keberadaan primal (P [2], A[3]).
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Ke-Allah-an disebut sebagai keberadaan dari
segala
sesuatu, sebagai kausa efisien dan contohnya, namun tidak menjadi
esensi dari segala keberadaan tersebut.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Sabda merupakan suatu forma eksemplar; tapi
bukan
merupakan suatu forma yang menjadi bagian dari suatu senyawa19.
Tanggapan
terhadap Keberatan 3 :
Hal-hal sederhana tidak dibedakan melalui
tambahan-tambahannya,
karena tambahan tersebut adalah milik dari suatu senyawa. Dengan
demikian manusia dan kuda berbeda dalam perbedaan mereka, rasional
dan tidak rasional; namun pembedaan tersebut, tidak menjadi berbeda
satu sama lain karena hal-hal tambahan lainnya. Oleh karena itu,
untuk menjadi cukup akurat, lebih baik untuk mengatakan bahwa manusia
dan kuda tidak berbeda, tetapi beragam. Oleh karena itu, menurut sang
Filsuf (Metaph. x), "hal-hal yang beragam benar-benar berbeda,
tetapi hal-hal yang berbeda dibedakan karena sesuatu lainnya."
Oleh karena itu, secara tegas dikatakan, materia primer dan Allah
tidaklah berbeda, tapi beragam melalui keberadaan masing-masing. Maka
dengan demikian Allah dan materia primer tidaklah sama.
------------
Catatan kaki:
1-Duoay-Rheims
: “Who being the
brightness of his glory, and the figure of his substance”;
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_PZT.HTM )
-KJV
: “Who
being the brightness of his glory, and the express image of his
person”.
-Textus
Receptus : “ὃς ὢν ἀπαύγασμα τῆς δόξης
καὶ χαρακτὴρ τῆς ὑποστάσεως αὐτοῦ”
(hos
ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs hypostaseōs autou)
(bdk.
http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=1&v=3&t=KJV#conc/3,
http://biblos.com/hebrews/1-3.htm)
-TB
LAI : “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”
Tampaknya TB LAI mengabaikan
kata hypostaseōs
dan
tidak menerjemahkannya, padahal keberatan 2 di atas berangkat dari
situ yaitu bahwa hypostaseōs
Allah
mempunyai gambaran sehingga Allah disangka memiliki bentuk. KJV
menerjemahkannya sebagai person.
Dalam Konsili Nikea 325, hypostaseōs
adalah
sama artinya dengan ousia
(http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm
),
yaitu esensi (http://www.newadvent.org/cathen/07449a.htm
). Kata hypostaseōs
ini
muncul dalam Surat-surat Rasul Paulus (2 Kor 9:4; 11:17; Ibr
1:3-3:14) tapi tidak dalam pemahaman sebagai person.
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan heresy dalam Kristologi
(http://www.newadvent.org/cathen/07610b.htm ).
2
Materia : elemen yang membentuk atau menyusun sesuatu (
Catholic Encyclopedia, Matter,
http://www.newadvent.org/cathen/10053b.htm
)
Forma
: sesuatu yang terlihat, yang tampak ( Catholoc Encyclopedia, Form,
http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm
)
3Jiwa
adalah forma substansial dari tubuh manusia (ajaran St. Thomas ini
ditetapkan sebagai harus diimani oleh Konsili Vienne)
(http://www.newadvent.org/cathen/06137b.htm
). Forma substansial adalah suatu principal dari tindakan, dan
karenanya sesuatu ada sebagaimana ia ada. Jiwa sebagai forma
substantial membedakan tubuh hidup dengan tubuh mati, dan ia
membedakan antara tubuh hidup satu dengan lainnya.
4
Duoay-Rhimes : “But
my just man liveth by faith; but if he withdraw himself, he shall
not please my soul.”
(http://www.intratext.com/IXT/ENG0011/_P102.HTM
)
KJV
: “Now
the just shall live by faith: but if any man draw back, my soul
shall
have no pleasure in him”
Textus
Receptus : “ὁ δὲ δίκαιός ἐκ πίστεως
ζήσεται καὶ ἐὰν ὑποστείληται οὐκ
εὐδοκεῖ ἡ ψυχή
μου
ἐν αὐτῷ” (ho
de dikaios mou ek pisteōs zēsetai kai ean hyposteilētai ouk
eudokei hē psychē
mou
en autō)
(http://www.blueletterbible.org/Bible.cfm?b=Hbr&c=10&v=38&t=KJV#conc/38
,
http://biblos.com/hebrews/10-38.htm
)
TB
LAI : “Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan
apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.”
Berhubung dengan banyaknya
kata yang hilang dalam TB LAI, maka teks-teks Kitab Suci berikutnya
akan langsung diterjemahkan dari apa yang ditulis oleh St. Thomas,
karena tulisan-tulisan St. Thomas lebih sesuai dengan Textus
Receptus maupun terjemahannya dalam bahasa Inggris, terutama
Duoay-Rheims.
5
Suppositum adalah
sesuatu yang terindividualisasi, yang memiliki sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain (bdk. Catholic Encyclopedia Person,
http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm,
dan Individual,
Individuality,
http://www.newadvent.org/cathen/07762a.htm
). Istilah tersebut digunakan baik untuk makhluk berakal maupun tak
berakal (rasional dan irasional). Untuk makhluk berakal terdapat
istilah sendiri yaitu “pribadi”.
6
“Aksiden” adalah suatu sifat tidak khusus yang melekat pada
genus atau species sehingga bukan merupakan bagian yang hakiki.
Contoh : buku yang berwarna hijau, rambut pada manusia, dan
sejenisnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996, h.21).
7Permasalahan
di sini adalah pemahaman tentang “keberadaan” (to
be)
dan “kepemilikan” (to
have).
Allah tidak memiliki “ke-Allahan”, kasih dan hidup, tapi
Allah-lah ke-Allahan, kasih dan hidup itu sendiri. Dengan demikian
tidak ada komposisi dalam Allah, karena suatu komposit akan selalu
berada dalam potensialitas, sedangkan dalam Allah tidak ada
potensialitas (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa
,http://www.thesumma.info/one/one39.php,
dan St. Thomas Aquinas, Contra
Gentiles I,
ch.21, http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21
)
8Suppositum
disini berarti hakikat ditambah dengan beberapa komposisi lainnya,
seperti manusia adalah kemanusiaannya ditambah beberapa hal lain
(bdk. St. Thomas Aquinas, Contra Gentiles I, ch.21,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#21
)
9
Keberadaan :
Keberadaan dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah
keberadaan yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori (bdk.
St. Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm
, art.4, dan
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1996, h.19). Yang kedua adalah keberadaan yang
menandakan kebenaran suatu proposisi. Di sini suatu “privasi”
(privation)
atau ketiadaan/kekurangan dan negasi (penyangkalan), dapat menjadi
suatu keberadaan. Contohnya adalah “kebutaan”. Kebutaan adalah
sifat dari kurang atau tiadanya kemampuan melihat dan negasi dari
“bisa melihat” (buta=tidak bisa melihat). Di sini proposisi
“Kebutaan adalah sifat dari kurang atau tiadanya kemampuan
melihat” adalah benar, sehingga “kebutaan” adalah suatu
keberadaan. Namun demikian, “kebutaan” sebagai suatu keberadaan
tidaklah memiliki esensi, karena ia ada sebagai negasi atau privasi
(privation).
Sedangkan keberadaan jenis pertama di atas adalah keberadaan yang
memiliki esensi, karena merupakan keberadaan nyata, dan bukan hanya
sekedar suatu proposisi.
Esensi
: Esensi dipahami sebagai sesuatu yang menjadikan sesuatu lainnya
menjadi ada dan dapat dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok
tersendiri (bdk. St. Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia,
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/DeEnte&Essentia.htm
, art.6).
Sebagai contoh, “kemanusiaan” menjadikan “manusia” ada dan
berbeda dengan kelompok binatang lainnya.
Esensi
hanya ada dalam keberadaan jenis pertama, karena keberadaan ini
adalah keberadaan nyata, bukan hanya sekedar suatu proposisi (ibid.
art.5).
10Sesuatu
diluar esensi menjadi ada karena dua hal, yaitu dijadikan ada oleh
esensi itu sendiri (seperti tertawa yang ada karena merupakan bagian
dari kemanusiaan), atau disebabkan oleh agen eksterior. Sekarang,
Allah tidak dijadikan ada oleh agen eksterior karena Allah adalah
Penyebab pertama, dan esensi Allah (yaitu ke-Allahan-Nya) tidak bisa
menjadi sebab dari keberadaan-Nya, karena untuk menjadi sebab maka
sesuatu harus ada terlebih dahulu. Maka keberadaan Allah adalah sama
dengan esensi-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one39.php)
11Esensi
(contohnya : kemanusiaan) berada dalam potensialitas, dan hanya
menjadi actual jika ia berada dalam suatu keberadaan (contohnya :
manusia). Tapi dalam Allah tidak ada potensialitas. Maka esensi
Allah (ke-Allahan-Nya) tidak muncul dari aktualitas keberadaan-Nya,
tapi selalu ada dalam aktualitas. Ini berarti esensi Allah adalah
identik dengan keberadaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O.
P., The One God —
A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa,
http://www.thesumma.info/one/one40.php).
12Substansi
: adalah suatu keberadaan yang tinggal di dalam dirinya sendiri, dan
menjadi subjek dari segala aksiden dan perubahan aksidental
(Catholic Encyclopedia, Substance,
http://www.newadvent.org/cathen/14322c.htm
). Contohnya adalah kayu. Kayu dapat utuh, terpotong-potong, kering
ataupun basah, dan semuanya itu adalah kayu dengan segala aksiden
dan perubahan aksidentalnya. Tapi jika kayu terbakar habis sehingga
hanya menyisakan abu, maka substansi kayu sudah tida ada dalam abu
tersebut.
Sebagai
perbandingan dengan suppositum, maka suppositum adalah substansi
yang terindividualisasi (bdk. Catholic Encyclopedia Person
http://www.newadvent.org/cathen/11726a.htm
). Misalnya kayu ini dan kayu itu masing-masing adalah suppositum
sedangkan substansinya adalah kayu.
13Genus
dan species : Genus
adalah jenis yang merupakan himpunan benda, perorangan atau hal
lainnya yang meliputi kelompok-kelompok terbatas yang berada di
bawahnya (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 20).
Species
adalah kelompok-kelompok terbatas di bawah genus (ibid.).
Hubungan genus-species adalah genus selalu meliputi species,
sedangkan species tersebut dapat menjadi genus bagi
kelompok-kelompok di bawahnya. Contoh (Stanford Encyclopedia of
Philosophy, Aristotle's
Categories,
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/:
Substansi :
- Tak tergerakkan
- Tergerakkan :
- Bersifat kekal
- Bersifat tidak kekal :
- Mati
- Hidup :
- Rasional
-
Irasional
14Suatu
genus ditentukan oleh perbedaannya dengan genus lainnya. Jadi genus
selalu berada dalam potensialitas untuk ditentukan oleh factor
pembedanya. Maka Allah yang adalah aktualitas murni tidak dapat
dimasukkan dalam suatu genus (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O.
P., The One God —
A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological Summa,
http://www.thesumma.info/one/one41.php).
15Jika
“keberadaan” adalah suatu genus, maka ia harus memiliki pembeda
dengan genus lain. Namun “ketidakberadaan” tidak dapat digunakan
sebagai pembanding terhadap “keberadaan” karena hal
tersebut adalah absurd (bdk. Stanford Encyclopedia of Philosophy,
Aristotle's
Categories,
http://plato.stanford.edu/entries/aristotle-categories/
). Maka “keberadaan” bukanlah genus.
16Allah
bukanlah sarana ukur yang homogen, tetapi heterogen, karena Ia
adalah keberadaan yang sempurna, yang mana segala keberadaan
berusaha mendekati kesempurnaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange,
Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one41.php)
17Kepada
suatu keberadaan yang absolute dan tidak menerima keberadaannya dari
apapun tidak dapat ditambahkan apapun ke dalamnya. Tapi Allah adalah
keberadaan semacam itu. Maka dalam Allah tidak dapat ditambahkan
aksiden apapun (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one42.php).
18Artikel
8 ini adalah untuk menjawab pandangan bahwa Allah dapat bersatu
dengan sesuatu lainnya dan secara terpisah menjadi jiwa dari sesuatu
tersebut, suatu pandangan yang dianut dalam Pantheism. Paham ini
mengimani bahwa Allah adalah jiwa dari seluruh dunia (bdk. Catholic
Encyclopedia Pantheism,
http://www.newadvent.org/cathen/11447b.htm
). Namun ini tidak mungkin karena jika Allah adalah jiwa dari
seluruh dunia, maka Ia menjadi bagian dari esensi seluruh dunia. Hal
ini tidak mungkin karena jika menjadi bagian, itu berarti Allah
membentuk sesuatu yang lebih sempurna, lebih utama dari-Nya, yang
adalah tidak mungkin.
Namun
di lain pihak, dalam pribadi Kristus terdapat hypostatic
union (persatuan
hakikat, nature).
Ini bukan berarti hakikat (nature)
Ilahi menjadi bagian dari keseluruhan pribadi Kristus, melainkan
semacam mengikat hakikat manusia. Dengan demikian dalam Inkarnasi,
Sabda tidak menjadi bagian dari pribadi Kristus, tapi mengambil alih
jiwa dan raga manusia Yesus (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O.
P., The
One God — A Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one43.php,
dan Glenn, Paul Joseph, Mgr., A
Tour of the Summa,
http://www.catholictheology.info/summa-theologica/summa-part3.php?q=46
).
19Seperti
dijelaskan di P.3, Art.2 di atas, Allah terdiri dari forma tapi
tanpa materia sehingga tidak merupakan bagian dari suatu komposit.
Forma eksemplar : suatu forma yang melahirkan forma serupa lainnya.
Keserupaan ini bisa ada dua jenis
yaitu secara esensi alami, seperti manusia melahirkan manusia dan
api menghasilkan api, atau secara esensi intelek, seperti rancangan
dalam pikiran seorang arsitek melahirkan rumah yang serupa dengan
rancangannya (bdk. Catholic Encyclopedia, Cause,
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm#fn-c
). Sabda sebagai forma eksemplar ini akan lebih jelas pembahasannya
dalam Risalah tentang Tritunggal Maha Kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar