RISALAH TENTANG SATU ALLAH (PERTANYAAN 2-26)
Pertanyaan 2 : Keberadaan Allah (Tiga Artikel)
Karena
tujuan utama dari Doktrin Suci adalah untuk mengajarkan pengetahuan
tentang Allah, bukan hanya tentang Ia dalam diri-Nya sendiri, tetapi
juga tentang Ia sebagai awal dan akhir dari segala hal, dan terutama
dari makhluk-makhluk rasional, sebagaimana jelas dari apa yang telah
dikatakan sebelumnya. Karena itu, dalam usaha kita untuk menjelaskan
ilmu ini, kita akan membahas :
- Tentang Allah;
- Tentang langkah makhluk rasional menuju Allah;
- Tentang Kristus, yang sebagai manusia, adalah jalan kita menuju Allah.
Dalam
pembahasan tentang Allah akan terdapat tiga bagian, karena kami akan
mempertimbangkan :
- Hal-hal yang berhubungan dengan Esensi Ilahi;
- Hal-hal yang berhubungan dengan pembedaan Pribadi;
- Hal-hal yang berhubungan dengan prosesi ciptaan dari-Nya.
Tentang
Esensi Ilahi, kita harus mempertimbangkan:
- Apakah Tuhan ada?
- Sifat keberadaan-Nya, atau lebih tepatnya, apa yang bukan merupakan sifat dari keberadaan-Nya;
- Hal-hal tentang tindakan-Nya ---yaitu, pengetahuan, kehendak, dan kekuatan-Nya.
Mengenai
hal pertama di atas, ada tiga poin penyelidikan
- Apakah proposisi "Allah ada" adalah self-evident [cat. penerj. : terbukti-dengan-sendirinya, yaitu dapat dipahami melalui istilah itu sendiri]?
- Apakah keberadaan Allah dapat ditunjukkan?
- Apakah Allah ada?
Artikel 1: Apakah Keberadaan Allah Self-Evident?
Keberatan
1 :
Tampaknya bahwa keberadaan Allah adalah
self-evident
.
Sekarang
hal-hal
disebut self-evident
adalah jika pemahaman tentangnya telah secara alami ada dalam diri
kita, yang kita pahami sebagai prinsip utama. Tetapi sebagaimana
dikatakan Damaskus (De Fide Orth. i, 1,3), "pengetahuan tentang
Allah secara alami telah ditanamkan di semua orang." Oleh karena
itu keberadaan Allah adalah self-evident.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, hal-hal disebut
self-evident
jika
diketahui segera setelah
istilah
tersebut dipahami, yang oleh Sang Filsuf (1 Poster. iii) dikatakan
dengan benar mengenai prinsip-prinsip pertama tentang suatu
demonstrasi. Dengan
demikian,
ketika sifat dari suatu keseluruhan dan suatu bagian diketahui,
segera diakui bahwa setiap keseluruhan adalah lebih besar daripada
bagiannya. Tapi segera setelah makna kata "Allah" dipahami,
saat itu juga dapat dilihat bahwa Allah ada, karena dengan kata-kata
tersebut dimaknai bahwa tidak ada sesuatu yang dapat lebih besar lagi
dari-Nya. Tapi hal-hal yang secara actual ada dan diakui oleh pikiran
adalah lebih besar daripada keberadaan yang ada hanya dalam pikiran.
Oleh karena itu, karena kata "Allah" segera dipahami
maknanya, keberadaannya ada dalam pikiran, sekaligus diakui bahwa ia
ada secara aktual. Oleh karena itu proposisi "Allah ada"
adalah self-evident.
Keberatan
3 :
Lebih lanjut, keberadaan kebenaran adalah
self-evident,
karena
siapapun
yang menyangkal keberadaan kebenaran mengakui bahwa kebenaran tidak
ada: dan, jika kebenaran tidak ada, maka proposisi "bahwa
kebenaran tidak ada" adalah benar: dan jika ada sesuatu yang
benar, harus ada kebenaran. Tetapi Allah adalah kebenaran itu
sendiri: "Akulah jalan, kebenaran, dan hidup" (Yohanes 14:
6). Karena itu "Allah ada" adalah self-evident.
Sebaliknya,
Tak seorang pun dapat dalam pikirannya mengakui kebalikan dari
sesuatu
yang self-evident;
sebagaimana dinyatakan oleh Sang Filsuf (Metaph. iv, lect. vi)
tentang prinsip-prinsip utama tentang demonstrasi. Tetapi kebalikan
dari proposisi "Allah ada" dapat diakui oleh pikiran :
"Orang bebal berkata dalam hatinya : Tidak ada Tuhan"
(Mazmur 53:1). Oleh karena itu, bahwa Allah ada bukanlah
self-evident.
Aku
menjawab bahwa,
Suatu hal dapat menjadi
self-evident
dalam
dua cara : di
satu
sisi, jelas dalam dirinya sendiri, meskipun tidak bagi kita; di sisi
lain, jelas dalam dirinya sendiri, dan juga bagi kita. Suatu
proposisi menjadi self-evident
karena predikat tersebut termasuk dalam esensi dari subjek, seperti
dalam "Manusia adalah binatang," karena binatang terkandung
dalam esensi manusia. Jika esensi dari subjek dan predikat dikenal
oleh semua, proposisi tersebut akan self-evident
bagi semua; seperti jelas berkenaan dengan prinsip-prinsip pertama
demonstrasi, syarat-syarat dimana hal-hal yang umum tidaklah tidak
diketahui oleh siapapun, seperti tentang ada dan tiada, perbedaan
antara keseluruhan dan bagian, dan hal lain semacam itu. Tetapi, jika
ada hal-hal yang esensi predikat dan subjeknya tidak diketahui,
proposisi tersebut akan menjadi jelas dalam dirinya sendiri, tetapi
tidak bagi orang-orang yang tidak tahu arti dari predikat dan subjek
proposisi tersebut. Oleh karena itu, hal itu terjadi, seperti
dikatakan Boethius (Hebdom., dengan judul : "Apakah semua yang
memiliki keberadaan, adalah baik"), "bahwa ada beberapa
konsep dalam pikiran yang jelas hanya untuk yang belajar, sebagaimana
tentang sosok rohani yang tidak berada dalam ruang." Oleh karena
itu saya mengatakan bahwa proposisi "Allah ada," itu
sendiri self-evident,
karena predikatnya adalah sama dengan subjeknya, karena Allah adalah
keberadaan-Nya itu sendiri sebagaimana akan dibahas selanjutnya
(Pertanyaan 3, Artikel 4). Sekarang karena kita tidak tahu esensi
Allah, maka proposisi tersebut tidaklah self-evident
bagi kita; tapi perlu dibuktikan melalui hal-hal yang lebih dikenal
oleh kita, walaupun secara alami kurang dikenal ---yaitu, melalui
efek.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Secara umum dan tidak jelas, pemahaman
bahwa
Allah ada dalam diri kita secara alami, sebab Allah adalah
kebahagiaan manusia. Karena manusia secara alami menginginkan
kebahagiaan, dan apa yang secara
alami diinginkan oleh manusia harus secara alami dikenal olehnya.
Namun, Ini bukan berarti manusia secara mutlak tahu bahwa Allah ada,
seperti saat seseorang tahu ada orang lain yang mendekat bukan
berarti ia tahu bahwa yang mendekat adalah Peter, meskipun memang
Peter yang mendekat, karena ada banyak orang yang membayangkan
kesempurnaan kebahagiaan manusia terletak pada kekayaan, dan yang
lainnya mengira ada dalam kepuasan, dan lainnya ada dalam hal lain.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Mungkin tidak semua orang yang mendengar
kata
"Allah" memahami bahwa kata itu memiliki arti tentang
sesuatu yang tidak ada yang melebihinya, karena beberapa orang
memahami Allah sebagai suatu makhluk ragawi. Namun, seandainyapun
semua orang memahami bahwa kata "Allah" menandakan sesuatu
yang tidak ada yang lebih besar darinya, bukan dengan sendirinya
berarti bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata itu sungguh ada
secara aktual, tapi dipahami hanya melalui pikirannya saja. Tidak
bisa juga dinyatakan bahwa sesuatu yang ditandakan oleh kata “Allah”
tersebut sungguh ada secara actual, kecuali juga diakui [oleh
mereka yang tidak percaya - penerjemah]1
bahwa secara actual ada sesuatu yang tidak dapat dilampaui
kebesarannya oleh apapun, Tetapi inilah yang tidak diakui oleh mereka
yang beranggapan bahwa Allah tidak ada.
Tanggapan
terhadap Keberatan 3 :
Keberadaan kebenaran secara umum
adalah
self-evident
tetapi keberadaan Kebenaran Utama tidaklah self-evident
bagi kita.
Artikel 2 : Apakah Dapat Ditunjukkan bahwa Allah Ada?
Keberatan
1 :
Tampaknya keberadaan Allah tidak dapat ditunjukkan, karena
keberadaan
Allah adalah suatu artikel iman. Tapi segala sesuatu yang berasal
dari iman tidak dapat dibuktikan, karena pembuktian menghasilkan
pengetahuan ilmiah; sedangkan iman adalah tentang sesuatu yang tak
terlihat (Ibrani 11: 1). Oleh karena itu tidak dapat dibuktikan bahwa
Allah ada.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, esensi adalah term tengah2
dari
suatu pembuktian. Tapi
kita
tidak tahu terdiri dari apa esensi Allah, tetapi hanya tahu tentang
apa yang tidak merupakan bagian dari esensi Allah, seperti dikatakan
Damaskus (De Fide Orth. i, 4). Oleh karena itu kita tidak dapat
membuktikan bahwa Tuhan ada.
Keberatan
3 :
Lebih lanjut, jika keberadaan Allah dapat dibuktikan, maka hanya
berdasarkan
efek-Nya. Tapi efek-Nya tidak sebanding dengan esensi-Nya, karena Ia
adalah tak terbatas sedangkan efek-Nya terbatas; dan antara tak
terbatas dengan terbatas tidak dapat diperbandingkan. Oleh karena
itu, karena suatu sebab tidak dapat dibuktikan melalui efeknya yang
tidak sebanding, maka sepertinya keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan.
Sebaliknya,
Sang Rasul mengatakan: " Sebab apa yang tidak nampak dari
pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, "
(Roma 1: 20). Tapi hal tersebut tidak akan terjadi kecuali keberadaan
Allah dapat dibuktikan melalui ciptaan; karena hal pertama yang harus
kita ketahui dari sesuatu apapun adalah apakah sesuatu tersebut ada.3
Aku
menjawab bahwa,
Pembuktian dapat dilakukan dalam dua cara: satu adalah
melalui
penyebab, dan disebut "a priori", dan ini adalah berargumen
dari apa yang sebelumnya secara mutlak telah ada. Yang lain adalah
melalui efek, dan disebut pembuktian "a posteriori"; ini
adalah berargumen dari apa yang dari sisi kita dipandang secara
relative telah ada. Ketika suatu efek lebih kita ketahui daripada
penyebabnya, maka dari efek tersebut kita berproses menuju pada
pengetahuan tentang penyebabnya. Dan dari setiap efek, keberadaan
dari penyebabnya dapat dibuktikan, asalkan efek tersebut lebih kita
ketahui; karena setiap efek tergantung pada penyebabnya. Jika ada
efek, maka sebelumnya harus ada penyebab. Maka keberadaan Tuhan,
karena hal tersebut tidak jelas bagi kita, dapat dibuktikan dari
hal-hal yang membuat kita tahu tentang efek-Nya.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Keberadaan Allah dan kebenaran lainnya
tentang
Allah, yang bisa diketahui melalui nalar alami, bukanlah artikel
iman, tetapi merupakan dasar bagi artikel-artikel iman4;
karena iman mempresuposisikan (mengandaikan, mendasarkan) pada
pengetahuan alami, sebagaimana rahmat mempresuposisikan keberadaan
suatu sifat [tamb.
: yang akan diberi rahmat],
dan kesempurnaan mempresuposisikan sesuatu yang dapat disempurnakan.
Namun, tidak ada yang dapat mencegah manusia, yang tidak dapat
memahami suatu bukti, menerima sesuatu yang dalam dirinya sendiri
dapat diketahui dan dibuktikan secara ilmiah, sebagai sesuatu yang
[hanya bisa diterima] melalui iman.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Ketika keberadaan suatu penyebab dibuktikan
dari
suatu efek, efek ini mengambil definisi dari penyebab dalam upaya
pembuktian keberadaan penyebab. Hal ini terutama dalam kaitannya
dengan Allah, karena, untuk membuktikan keberadaan apa pun, adalah
perlu untuk menerima arti kata-kata sebagai term tengahnya, bukan
esensinya, karena pertanyaan tentang esensi mengikuti
pertanyaan tentang eksistensi. Sekarang nama yang diberikan kepada
Allah berasal dari efek-Nya; Akibatnya, dalam membuktikan keberadaan
Allah dari efek-Nya, kita dapat mengambil term tengah makna dari kata
"Allah".
Tanggapan
terhadap Keberatan 3 :
Dari efek-efek yang tidak sebanding dengan
penyebab,
tidak ada pengetahuan yang sempurna yang dapat diperoleh tentang
penyebab. Namun dari setiap efek, keberadaan penyebab dapat dengan
jelas dibuktikan, maka kita dapat menunjukkan keberadaan Allah dari
efek-Nya; meskipun dari efek-efek tersebut kita tidak dapat dengan
sempurna mengetahui Allah sebagaimana Ia ada dalam esensi-Nya.
Artikel 3 : Apakah Allah Ada?
Keberatan
1 :
Tampaknya Allah tidak ada; karena jika salah satu dari dua hal yang
saling
berlawanan adalah tak terbatas, maka yang lain akan sama sekali
hancur. Tapi kata "Allah" berarti bahwa Ia adalah kebaikan
yang tak terbatas. Oleh karena itu, jika Allah ada, tidak akan ada
kejahatan; Tapi kejahatan ada di dunia. Oleh karena itu Allah tidak
ada.
Keberatan
2 :
Lebih lanjut, adalah berlebihan untuk beranggapan bahwa apa yang
dapat
dijelaskan oleh sedikit prinsip adalah merupakan produk dari banyak
prinsip. Sekarang, seandainya Allah tidak ada, tampaknya segala
sesuatu yang kita lihat di dunia dapat dijelaskan oleh
prinsip-prinsip lain, karena semua hal alami dapat dirunut menuju
satu prinsip yaitu prinsip alami; dan setiap tindakan dapat dirunut
menuju satu prinsip yaitu akal maupun kehendak manusia. Oleh karena
itu, tidak perlu berandai-andai tentang keberadaan Allah.
Aku
menjawab bahwa, Keberadaan
Allah dapat dibuktikan dalam lima cara. Yang
pertama
dan lebih nyata adalah argumen dari gerak. Pasti, dan jelas untuk
indra kita, bahwa di dunia, beberapa hal bergerak. Sekarang apa pun
yang bergerak adalah digerakkan oleh hal lain, karena tidak ada yang
bisa bergerak kecuali dalam potensialitas untuk menjadi bergerak;
sedangkan hal yang bergerak karena ia berada dalam kenyataan
bergerak, karena gerak tak lain daripada perubahan sesuatu dari
potensialitas menuju aktualitas (kenyataan). Tetapi tidak yang dapat
berubah dari potensialitas menuju aktualitas, kecuali oleh sesuatu
yang berada dalam aktualitas. Jadi apa yang secara aktual panas,
seperti api, membuat kayu, yang berpotensi panas, untuk menjadi panas
secara aktual, dan dengan demikian api menggerakkan dan mengubah
kayu. Sekarang tidak mungkin bahwa hal yang sama dapat sekaligus
berada dalam keadaan aktual dan potensial dalam hal yang sama, tetapi
hanya dalam hal yang berbeda. Karena apa yang secara aktual panas
tidak dapat secara bersamaan berpotensi panas; tetapi secara
bersamaan bisa berpotensi dingin [atau lebih panas]. Karena itu
mustahil bahwa dalam hal yang sama dan dengan cara yang sama, sesuatu
menjadi penggerak sekaligus yang digerakkan, dalam arti bahwa sesuatu
tersebut bergerak sendiri. Oleh karena itu, apa pun yang bergerak
harus digerakkan oleh sesuatu lainnya. Jika sesuatu yang menggerakkan
tersebut menjadi bergerak, maka sesuatu tersebut harus digerakkan
oleh sesuatu lainnya, dan terus berlanjut demikian. Tapi ini tidak
dapat berlanjut sampai tak terbatas, karena jika demikian maka tidak
akan ada penggerak pertama, dan akibatnya, tidak ada penggerak lagi;
karena penggerak berikutnya bergerak hanya sejauh mereka digerakkan
oleh penggerak pertama; sebagaimana batang bergerak hanya jika
digerakkan oleh tangan. Oleh karena itu sangat diperlukan untuk
sampai pada penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh apapun, dan
ini dipahami sebagai Allah6.
Cara
kedua adalah dari sifat tentang kausa efisien7.
Dalam dunia indera, kita menemukan adanya aturan tentang kausa
efisien. Tidak ada kasus yang pernah dikenal (dan sungguh, hal itu
memang tidak mungkin) di mana suatu hal merupakan kausa efisien bagi
dirinya sendiri, karena itu berarti sesuatu itu ada di luar dirinya
sendiri, yang adalah tidak mungkin. Sekarang dalam suatu kausa
efisien tidak mungkin untuk terus berlanjut sampai tak berhingga,
karena dalam semua kausa efisien berada dalam urutan, yaitu bahwa
yang pertama menjadi penyebab dari kausa intermediate, dan kausa
intermediate menjadi penyebab dari kausa akhir, entah kausa
intermediate tersebut berjumlah banyak atau hanya ada satu. Sekarang
dengan menghilangkan penyebab maka berarti juga menghilangkan efek.
Oleh karena itu, jika tidak ada penyebab pertama di antara kausa
efisien, tidak akan ada kausa akhir ataupun kausa intermediate
setelahnya. Tapi jika kausa efisien dapat berlanjut hingga tak
terbatas, maka tidak aka nada kausa pertama, sehingga tidak aka nada
kausa akhir ataupun kausa intermediate, yang semua itu telah nyata
keliru. Maka adalah perlu untuk mengakui adanya satu kausa efisien
yang pertama, yang disebut Allah.
Cara
ketiga diambil dari hal tentang kemungkinan dan kebutuhan, dan
berjalan dengan demikian. Kita menemukan di alam hal-hal yang mungkin
dan tidak mungkin untuk terjadi, karena mereka ada dengan cara
diperanakkan, dan dapat rusak, dan konsekuensinya, mereka dapat
mungkin ada atau dapat mungkin tidak ada. Tapi kedua kemungkinan
tersebut tidak selalu ada, karena suatu saat sesuatu mungkin ada, di
saat lain ia tidak dapat mungkin tidak ada. Oleh karena itu, jika
segala sesuatu mungkin ada, di saat lain adalah mungkin bagi segala
sesuatu untuk tidak ada. Sekarang, jika hal tersebut benar, maka saat
ini tidak ada apapun yang memiliki keberadaan karena hal yang tidak
memiliki keberadaan akan ada hanya jika melalui sesuatu yang telah
ada. Oleh karena itu, jika suatu saat tidak ada satupun yang ada,
maka tidak mungkin bagi segala sesuatu untuk menjadi ada, sehingga
saat ini akan tidak ada apapun – dan hal tersebut adalah absurd.
Oleh karena itu, bukan hanya mungkin, tapi harus ada sesuatu yang
keberadaannya diperlukan. Tetapi segala sesuatu yang diperlukan
tersebut dapat tergantung dari suatu penyebab ataupun tidak. Sekarang
ketergantungan terhadap lainnya tersebut tidak mungkin untuk menuju
pada ketakberhinggaan, seperti yang sudah dibuktikan dalam hal kausa
efisien. Oleh karena itu kita tidak bisa berkata lain kecuali
mendalilkan keberadaan sesuatu yang tergantung pada dirinya sendiri,
dan tidak tergantung pada hal lain, tapi justru menjadi sebab
ketergantungan mereka. Ini yang disebut Allah.
Cara
keempat diambil dari gradasi yang ditemukan dalam keberadaan. Di
antara keberadaan-keberadaan, ada beberapa yang lebih dan beberapa
kurang baik, benar, mulia dan sejenisnya. Tetapi "lebih"
dan "kurang" dipredikatkan pada hal-hal yang berbeda,
berdasarkan kemiripan mereka terhadap sesuatu yang maksimum, seperti
sesuatu dikatakan lebih panas karena sesuatu tersebut lebih
menyerupai sesuatu yang terpanas; sehingga ada sesuatu yang paling
benar, sesuatu yang terbaik, sesuatu yang paling mulia, dan,
akibatnya, sesuatu yang sepenuhnya ada; karena hal-hal yang terbesar
dalam kebenaran adalah terbesar dalam keberadaan, sebagaimana ditulis
dalam Metaph. ii. Sekarang yang maksimum dalam genus apapun adalah
penyebab dari segala sesuatu dalam genus itu; seperti api, yang
merupakan maksimum dalam panas, adalah penyebab dari segala sesuatu
yang panas. Oleh karena itu juga harus ada sesuatu yang merupakan
penyebab dari segala keberadaan, segala kebaikan dan segala
kesempurnaan. Ini yang kita sebut Allah.
Cara
kelima diambil dari bagaimana dunia ada dalam keteraturannya. Kita
melihat bahwa keberadaan yang tidak memiliki akal, seperti tubuh,
bertindak menuju suatu akhir, dan ini jelas dari cara mereka
bertindak yang selalu, atau hampir selalu, dalam cara yang sama,
seolah untuk mencapai hasil yang terbaik. Karena jelas bahwa hal
tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi terdesain, tentang cara
mereka menuju suatu akhir. Sekarang apapun yang tidak berakal tidak
dapat bergerak menuju suatu akhir tanpa diarahkan oleh sesuatu yang
memiliki pengetahuan dan akal, sebagaimana anak panah ditembakkan
menuju sasarannya oleh seorang pemanah. Oleh karena itu ada suatu
keberadaan yang memiliki akal yang mengarahkan segala benda alami
menuju akhir mereka. Dan keberadaan ini disebut Allah8.
Tanggapan
terhadap Keberatan 1 :
Sebagaimana dikatakan Agustinus
(Enchiridion
xi): "Karena Allah merupakan kebaikan tertinggi, Ia tidak akan
membiarkan setiap kejahatan ada dalam karya-karya-Nya, kecuali
kemahakuasaan dan kebaikan-Nya dapat membawa kebaikan muncul dari
kejahatan." Ini adalah bagian dari kebaikan Allah yang tak
berhingga, yaitu bahwa Ia mengijinkan kejahatan ada, dan darinya
memunculkan kebaikan.
Tanggapan
terhadap Keberatan 2 :
Karena alam bekerja untuk suatu akhir yang
pasti
di bawah arahan dari agen lebih tinggi, apapun yang dilakukan oleh
alam harus perlu ditelusuri kembali sampai kepada Allah, sebagai
penyebabnya yang pertama. Begitu juga apa pun dilakukan secara bebas
harus juga ditelusuri kembali kepada suatu sebab yang lebih tinggi
dari akal atau kehendak manusia, karena hal-hal yang ada pada manusia
tersebut dapat berubah ataupun gagal. Sedangkan segala sesuatu yang
dapat berubah ataupun dapat rusak harus ditelusuri kembali sampai
pada suatu sebab pertama yang tak tergerakkan dan tergantung pada
dirinya sedniri, sebagaimana telah ditunjukkan pada bagian utama
artikel ini.
------------
Catatan kaki:
1
Reginald
Garrigou-Lagrange, O. P., A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one26.php
2Term
tengah adalah salah satu dari tiga term yang menyusun suatu
silogisme yang benar (bdk. Rapar, Jan Hendrik, Pengantar
Logika : Asas-asas Penalaran Sistematis,
Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius, 1996, h. 48). Contohnya :
Premis
mayor : Semua
manusia akan mati.
Premis
minor : Orang
Yunani adalah manusia.
Kesimpulan
: Orang
Yunani akan mati.
Manusia
adalah
term tengah yang menghubungkan antara premis mayor dan premis minor.
3
Ayat dalam Roma 1:20 tersebut menjadi
tidak benar jika keberadaan Allah tidak dapat dibuktikan melalui
ciptaan-Nya (bdk. Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa, http://www.thesumma.info/one/one28.php).
Jadi teks tersebut menyangkal pernyataan bahwa keberadaan
Allah tidak dapat dibuktikan melalui ciptaan-Nya.
4
Suatu hal tidak bisa sekaligus diimani dan diketahui oleh orang
yang sama. Contohnya : seseorang tidak mengimani, tapi mengetahui
keberadaan pensil yang ada dalam genggamannya (bdk.
Garrigou-Lagrange, Reginald, O. P. A
Commentary on the First Part of St Thomas' Theological
Summa,
http://www.thesumma.info/one/one31.php).
6
Tentang
gerak ini St. Thomas menjelaskan secara lebih jelas dalam Summa
Contra Gentiles
Bab 13 (
http://josephkenny.joyeurs.com/CDtexts/ContraGentiles1.htm#13
). Dikatakan bahwa segala sesuatu bergerak karena digerakkan. Jika
sesuatu digerakkan oleh dirinya sendiri, maka penggeraknya haruslah
ada dalam dirinya, bukan bagian dari dirinya. Sebagai contoh,
binatang yang bergerak karena digerakkan oleh kakinya tidak dapat
disebut digerakkan oleh dirinya sendiri karena yang menggerakkan
adalah bagian dari dirinya yaitu kakinya. Dengan demikian, jika
sesuatu dikatakan digerakkan oleh dirinya sendiri, maka ia secara
keseluruhan harus bergerak saat itu juga, bukan per bagian.
Dijelaskan
juga bahwa harus ada penggerak pertama, karena jika proses penggerak
dan yang digerakkan ini dirunut hingga tak berhingga, maka semua
penggerak adalah penggerak antara. Keadaan ini tidak mungkin karena
penggerak antara hanya meneruskan gerak dari penggerak sebelumnya.
Jika semua adalah penggerak antara dan tidak ada penggerak pertama,
maka tidak ada sesuatupun yang bergerak, dan ini adalah absurd.
7
Kausa
efisien adalah penyebab yang menghasilkan efek yang berbeda dari
dirinya sendiri ( Catholic Encyclopedia, Cause,
http://www.newadvent.org/cathen/03459a.htm
)
8
Tentang lima cara pembuktian ini, Rm. Reginald Garrigou-Lagrange,
O.P.
(http://www.thesumma.info/one/one32.php)
memberi
tabel sebagai berikut :
Lima
pembuktian St. Thomas ini sering diserang oleh para atheis, salah
satunya oleh Richard Dawkins, seorang professor di Oxford sekaligus
ahli biologi evolusioner. Tapi pendapat Dawkins telah ditunjukkan
sebagai pendapat yang tidak memahami ajaran St. Thomas Aquinas.
Salah satu tulisan yang menunjukkan hal tersebut adalah artikel
berjudul Who’s
Deluded, An Atheist Just Doesn’t Get
Aquinas
oleh
Christopher Kaczor yang dimuat di majalah “This Rock” volume 20
nomor 3, Maret 2009
(http://www.catholic.com/magazine/articles/who%E2%80%99s-deluded
). Buku Dawkins The
God
Delusion
banyak
mendapat sanggahan antara lain dari Rm. Thomas Crean, O.P. dan Scott
Hahn.
Untuk
lebih lengkapnya tentang sumber-sumber yang menunjukkan kekeliruan
Dawkins tersebut silakan kunjungi
http://www.catholic.com/magazine/articles/dawkins%E2%80%99-debunkers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar