NAMA-NAMA ALLAH
Artikel 1
Kita dapat secara sah memberi nama kepada sesuatu sejauh kita mengenalnya. Sekarang, kita dapat mengenal Allah secara alami melalui akal budi, dan secara adikodrati melalui iman dan wahyu. Maka, kita dapat memberi nama kepada Allah. Dan memang, kita memiliki banyak nama untuk Allah; nama-nama itu sah karena kita mengetahui apa yang kita namai.
Artikel 2
Nama-nama yang kita berikan kepada Allah mengungkapkan Allah sendiri sejauh yang kita kenal tentang-Nya. Meskipun pengetahuan alami kita tentang kesempurnaan Allah diperoleh dengan mempertimbangkan kesempurnaan makhluk, hal itu tetap membenarkan nama-nama yang kita gunakan bagi Allah. Kita menyadari bahwa semua kesempurnaan makhluk ada dalam Allah, sebab Allah-lah yang menganugerahkan kesempurnaan kepada makhluk, dan Ia pasti memilikinya dalam diri-Nya untuk dapat menganugerahkannya. Oleh karena itu, ketika kita menggunakan nama yang mengungkapkan suatu kesempurnaan sebagai nama bagi Allah, kita menerapkannya kepada Allah sendiri, dalam hakikat dan substansi-Nya.
Artikel 3
Maka, nama-nama yang sesungguhnya kita gunakan untuk Allah bukanlah kiasan atau metafora; melainkan bersifat harfiah. Kesempurnaan yang diungkapkan oleh nama-nama ini sungguh ada dalam Allah dan berasal dari Allah. Tentu saja, nama-nama ini tidak sepenuhnya mengungkapkan cara keunggulan di mana kesempurnaan-kesempurnaan itu diidentikkan dengan hakikat Allah.
Artikel 4
Nama-nama yang kita berikan kepada Allah berlaku atas hakikat ilahi yang tidak terbagi. Namun nama-nama itu tidak semuanya bersinonim. Nama-nama tersebut berbeda satu sama lain berdasarkan perbedaan logis. Mereka mengungkapkan berbagai aspek dari sesuatu yang dalam dirinya sendiri tidak beragam. Ketika kita menyebut Allah sebagai "kebaikan ilahi", kita mengungkapkan satu aspek sejati dari Allah; ketika kita menyebut-Nya "yang tak terbatas", kita mengungkapkan aspek lain; ketika kita menyebut Allah "Yang Mahakuasa", kita mengungkapkan aspek yang lain lagi. Dalam hal ini, kita tidak menyiratkan bahwa ada pembagian dalam diri Allah; kita hanya membuat berbagai pendekatan terhadap satu hakikat ilahi yang tidak terbagi.
Artikel 5
Pertimbangkan cara kita menggunakan nama atau istilah:
(a) Ketika kita menerapkan suatu nama atau istilah pada dua atau lebih hal dalam arti yang sama persis, istilah itu, dalam penggunaannya tersebut, disebut istilah univokal. Misalnya, istilah "makhluk" ketika diterapkan kepada pria, wanita, dan anak-anak adalah istilah univokal.
(b) Ketika, dalam konteks yang sama, kita menerapkan suatu istilah kepada dua atau lebih hal dalam arti yang benar-benar berbeda, maka istilah itu, dalam penggunaannya tersebut, disebut istilah equivokal. Misalnya, kata "bank" yang digunakan dalam konteks yang sama untuk menunjuk sisi sungai dan juga lembaga penyimpanan uang adalah istilah equivokal.
(c) Ketika, dalam konteks yang sama, kita menerapkan suatu istilah pada dua atau lebih hal dalam arti yang berbeda namun berhubungan — "arti yang sebagian sama dan sebagian berbeda" — maka istilah itu, dalam penggunaannya, disebut istilah analogis (atau istilah yang digunakan secara analogi). Misalnya, kata "sehat" yang diterapkan pada manusia dan juga pada warna kulitnya adalah istilah analogis. Artinya, manusia memiliki kesehatan, dan warna kulitnya menunjukkan kesehatan. Dalam kedua penggunaan itu istilahnya merujuk pada kesehatan, dan inilah persamaannya; namun dalam satu penggunaan itu berarti memiliki kesehatan, sedangkan dalam yang lain berarti manifestasi kesehatan, dan inilah perbedaannya.
Sekarang, ketika kita menerapkan suatu nama yang berarti kesempurnaan kepada Allah dan juga kepada makhluk, kita menggunakan istilah itu secara analogis. Sebagai contoh, kita menyebut Allah bijaksana, dan kita juga menyebut manusia bijaksana. Yang kita maksud ialah bahwa Allah adalah kebijaksanaan yang diidentikkan dengan hakikat-Nya, sedangkan manusia memiliki kebijaksanaan sebagai kualitas, suatu aksiden yang tidak diidentikkan dengan hakikat manusia. Maka, ketika dalam konteks yang sama (secara tersurat atau tersirat) suatu istilah digunakan untuk Allah dan makhluk guna menyatakan kesempurnaan, istilah itu adalah istilah analogis.
Artikel 6
Istilah atau nama yang menyatakan kesempurnaan, seperti hidup, pengetahuan, bijaksana, baik, pertama-tama berlaku atas Allah, dan kemudian atas makhluk. Tetapi dalam penggunaan manusiawi kita terhadap istilah semacam itu, istilah tersebut pertama-tama merujuk pada makhluk. Karena pengetahuan kita tentang kesempurnaan, dan memang seluruh pengetahuan kita, dimulai dari pengetahuan tentang makhluk. Kita naik dari pengetahuan akan kesempurnaan makhluk menuju pengetahuan akan kesempurnaan yang tak terbatas.
Artikel 7
Beberapa nama Allah, seperti Pencipta, Pemelihara, Penyedia, melibatkan suatu hubungan antara makhluk dan Allah. Dari pihak makhluk, ini adalah hubungan nyata, karena makhluk secara hakiki bergantung pada Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak bergantung pada makhluk. Maka, dari pihak Allah, tidak ada realitas yang timbul karena hubungan-Nya dengan makhluk. Hubungan Allah terhadap makhluk bukanlah hubungan nyata, melainkan hubungan logis. Jika Allah tidak mencipta, memelihara, dan menyediakan bagi makhluk, maka makhluk tidak mungkin ada sama sekali. Namun Allah tetaplah Allah dalam kesempurnaan-Nya yang lengkap dan tak terbatas, sekalipun Ia tidak pernah menciptakan apa pun untuk dipelihara dan diberi. Dalam hal itu, maka nama-nama seperti Pencipta, Pemelihara, dan Penyedia tidak akan berlaku bagi Allah. Oleh karena itu, kita katakan bahwa nama-nama atau istilah yang menyatakan hubungan Allah dengan makhluk tidak berlaku atas Allah secara kekal sebagai penunjuk hakikat-Nya, tetapi berlaku secara temporal (terikat waktu) sebagai ungkapan ketergantungan makhluk kepada Allah.
Artikel 8
Nama "Allah" berarti Wujud Tertinggi dan Tak Terbatas itu sendiri, dalam hakikat, substansi, dan kodrat-Nya.
Artikel 9
Oleh karena itu, nama "Allah" tidak dapat diterapkan secara tepat pada makhluk mana pun selain Allah sendiri. Ini adalah nama yang tidak dapat dibagikan.
Artikel 10
Dan ketika, dalam kenyataannya, nama ini digunakan untuk menunjuk kepada makhluk, hal itu hanya dilakukan secara analogis, sejauh makhluk memiliki kesempurnaan yang terbatas yang ada dalam Allah secara tak terbatas. Namun jika diterapkan kepada berhala, maka nama "Allah" digunakan secara keliru.
Artikel 11
Nama paling sempurna bagi Allah adalah nama yang Ia gunakan sendiri untuk menyebut Diri-Nya. Allah berkata kepada Musa (Kel. 3:14), “Beginilah harus kaukatakan kepada orang Israel: Dia yang adalah, telah mengutus aku kepadamu.” Nama "Dia yang adalah" menyatakan kenyataan bahwa hakikat Allah adalah untuk ada, dan secara langsung menunjukkan keabadian dan ketakterbatasan Allah.
Artikel 12
Pernyataan bahwa semua nama kita untuk Allah bersifat negatif, dan bahwa kita tidak membuat pernyataan afirmatif tentang Allah, adalah tidak benar. Beberapa nama bagi Allah memang negatif dalam bentuk (seperti "tak terbatas" yang secara harfiah berarti "tidak terbatas"), tetapi nama-nama itu meniadakan penafian, dan secara makna bersifat positif. Selain itu, kita memiliki banyak nama afirmatif bagi Allah, dan kita membuat pernyataan afirmatif yang benar tentang-Nya. Misalnya, kita mengatakan bahwa Allah ada dalam kesatuan dan trinitas; bahwa Allah Mahabaik, Mahatahu, Mahabijaksana, Mahakuasa, dan seterusnya. Kita berhati-hati untuk selalu mengingat bahwa berbagai nama afirmatif bagi Allah, dan berbagai pernyataan kebenaran tentang-Nya, tidak pernah menunjukkan adanya pembagian atau pluralitas unsur yang nyata dalam diri Allah, yang adalah satu hakikat yang tak terbagi, satu substansi yang tak terbatas dan sungguh-sungguh sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar