KOMPENSASI
http://www.newadvent.org/cathen/04185a.htm
Kompensasi dalam artikel ini merujuk pada harga yang dibayarkan untuk suatu usaha pengerahan tenaga manusia atau kepada tenaga kerja. Saat manusia telah secara bebas menjual tenaga mereka, kompensasi terhadapnya telah menjadi masalah yang melibatkan pertanyaan tentang benar dan salah. Pertanyaan-pertanyaan ini telah disharingkan secara umum oleh manusia, paling tidak dalam negara-negara Kristiani. Dalam permulaan abad keempat, Kaisar Diokletus mengeluarkan suatu edict yang menetapkan harga maksimum untuk penjualan segala barang, dan menyusun daftar upah bagi sembilan kelas pekerja. Dalam pembukaan edict-nya Kaisar menyatakan bahwa tujuannya adalah menetapkan keadilan bagi rakyatnya (Levasseur, “Classes ouvrières avant 1789″, I, 112-114). Selama Abad Pertengahan dan hingga hampir menjelang abad kesembilan belas, terdapat regulasi upah yang legal di hampir seluruh negara-negara Eropa. Praktek ini mengindikasikan suatu kepercayaan bahwa kompensasi bagi pekerja harus diletakkan dalam tata hukum dan keadilan sebagaimana dipahami oleh pembuat undang-undang masing-masing negara tersebut.
Para Bapa Gereja secara implisit menegaskan hak para pekerja untuk memperoleh kompensasi yang cukup untuk kelangsungan hidupnya saat Para Bapa Gereja menyatakan bahwa Allah menghendaki bumi menjadi warisan bagi semua orang, dan saat mereka menyebut sebagai perampok, mereka yang kaya tetapi menolak untuk membagikan keuntungan mereka kepada yang memerlukan. Para teolog dan ahli hukum kanon pada Abad Pertengahan berpendapat bahwa semua komoditas sebaiknya dijual pada harga yang pantas menurut penilaian sosial. Tetapi mereka berkeras bahwa untuk sampai pada penilain tersebut masyarakat harus mempertimbangkan kegunaan, kelangkaan, dan biaya produksi dari suatu komoditas. Karena biaya produksi pada saat itu sangat dipengaruhi oleh biaya pekerja, atau upah, suatu harga yang layak untuk barang-barang seharusnya termasuk suatu harga yang layak untuk pekerja yang memproduksi barang-barang tersebut. St. Thomas merefleksikan pandangan umum saat ia berkata bahwa pekerja sebagaimana barang seharusnya memperoleh suatu harga yang layak (Sum. Th. I-II, q.94, art.1). Langenstein, pada abad keempat belas, lebih spesifik : ia menyatakan bahwa setiap orang dapat menetapkan harga yang layak bagi barang-barang yang dijualnya dengan mempertimbangkan biaya hidup seseorang dalam posisi tertentu (De Contractibus, Pt. I, cap. xii). Karena penjual barang biasanya adalah sekaligus pembuat barang, hukum Langenstein sejajar dengan doktrin bahwa kompensasi bagi penjual-pekerja (master-workman) harus cukup untuk membuatnya memperoleh nafkah yang baik. Dan kita tahu bahwa penghasilan mereka tidak beda jauh dengan para pedagang. Dari sedikit catatan yang sampai kepada kita, kita mungkin dapat menyimpulkan, bersama Profesor Brants, bahwa standar kompensasi tersebut beserta metode pemberdayaannya secara umum dapat menjamin kelangsungan hidup yang layak dari pekerja kelas menengah saat itu (Théories économiques aux xiiie et xive siècles, p. 123). Pada permulaan abad ketujuh belas, kita dapat menemukan para penulis seperti Molina dan Bonacina yang menyatakan bahwa kebiasaan pemberian kompensasi pada suatu tempat secara umum adalah suatu kompensasi yang adil, dan mengasumsikan bahwa para pekerja mempunyai hak hidup dari pekerjaannya.
Saat ini ajaran Katolik tentang kompensasi adalah tepat sehubungan dengan keadilan minimum. Ajaran tersebut dapat diringkas dalam kata-kata Paus Leo XIII berikut pada ensiklikal “Rerum Novarum” (15 Mei 1891) yang terkenal, tentang kondisi kelas pekerja : “terdapat ketentuan alamiah yang lebih kuno dan lebih superior dibanding hubungan tawar menawar antar manusia, bahwa upah harus cukup untuk memberikan kelayakan hidup yang sederhana dan masuk akal bagi penerimanya. Jika karena kebutuhan atau untuk menghindari situasi yang lebih buruk seorang pekerja menerima kondisi yang lebih sulit, karena orang yang mempekerjakannya tidak akan memberinya yang lebih baik, maka ia adalah korban dari kecurangan dan ketidakadilan.” Segera setelah ensiklik tersebut muncul, Cardinal Goossens, Uskup Agung Mechlin, menanyakan kepada Tahta Suci apakah orang yang memekerjakan bersalah jika membayar gaji yang cukup bagi kehidupan harian si pekerja tapi tidak bagi keluarganya. Sebuah jawaban tidak resmi keluar dari Cardinal Zigliara, yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan keadilan, tetapi mengusik rasa belas kasih atau kebajikan alami, yaitu rasa terima kasih yang masuk akal. Sebagai konsekuensi dari ajaran Paus Leo XIII, muncullah diskusi secara meluas, dan dari sana muncul sejumlah besar literatur di antara umat Katolik di Eropa dan Amerika sehubungan dengan upah minimum yang adil. Posisi Katolik saat ini dapat diringkas sebagai berikut : Pertama, semua penulis dari segala kewenangan setuju bahwa orang yang memekerjakan jika mampu maka secara moral berkewajiban untuk memberikan pada seluruh pekerjanya kompensasi yang cukup untuk kelangsungan hidup yang layak bagi individu, dan untuk pekerja beserta keluarganya bagi pekerja laki-laki dewasa, tapi hal tersebut tidak diatur dalam aturan yang ketat. Kedua, beberapa penulis mendasarkan doktrin tentang upah minimum yang adil ini di atas prinsip harga yang pantas, yang menyarankan bahwa kompensasi sebaiknya seimbang dengan nilai kerja, sementara penulis lain menyatakn bahwa secara alami para pekerja secara implisit berhak untuk menerima kehidupan yang layak melalui cara-cara yang memungkinkan baginya, yaitu antara lain melalui kontrak kerjanya dan dalam wujud upah yang diterima. Hal tersebut tidak diragukan adalah pandangan dari Leo XIII, sebagaimana tertulis dalam ensikliknya : “Adalah dengan sendirinya mengikuti bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh apa yang dibutuhkan agar dapat hidup, dan kaum papa hanya dapat memperolehnya melalui kerja dan upah yang diterimanya.”
Ajaran Katolik yang otoritatif tidak melangkah melampaui etika minimum, juga tidak menyatakan apa itu kompensasi yang sungguh adil. Ajaran tersebut mengakui bahwa keadilan yang penuh dan pasti akan sering menghadiahi para pekerja suatu kehidupan yang lebih dari sekedar layak minimum. Tetapi ajaran tersebut tidak berusaha untnuk mendefinisikan secara tepat keadilan yang lebih luas ini bagi segala kelas pekerja. Dan sungguh bijaksana, karena mengingat banyaknya faktor penentu yang terlibat, masalah tersebut sungguh kompleks dan sulit. Faktor-faktor yang paling berperan adalah, dari sisi pihak yang memekerjakan : energi yang digunakan, resiko yang menyertai, dan suku bunga terhadap modal. Dari sisi pekerja : kebutuhan, produktifitas, usaha, pengorbanan, dan ketrampilan. Dari sisi konsumer : harga yang wajar. Dalam suatu sistem tentang kompensasi dan distribusi yang adil dan menyeluruh, seluruh faktor-faktor tersebut harus diberi bobot. Tapi dalam proporsi yang bagaimana? Apakah pekerja yang lebih produktif dari rekan sekerjanya harus selalu menerima penghargaan yang lebih besar, tanpa melihat jenis pekerjaannya? Haruskah ketrampilan lebih dihargai daripada jenis kerja yang tidak perlu menggunakan ketrampilan? Bahkan jika setiap orang setuju tentang faktor-faktor pembeda dalam distribusi dan hal-hal terkait lainnya yang berhubungan dengan modal dan tenaga, akan tetap ada masalah keadilan yang berhubungan dengan konsumer. Sebagai contoh, apakah keuntungan yang timbul dari meningkatnya proses produksi adalah sepenuhnya menjadi hak yang mempekerjakan? Atau haruskah dibagi juga di dengan mereka yang terlobat dalam proses produksi? Paus Leo XIII menunjukkan kebijakan praktikalnya saat, dibanding berhubungan dengan detail pertanyaan tersebut, ia secara kuat menyarankan praktek arbitrasi. Ketika perselihan karena upah diajukan kepada arbitrasi yang adil, seluruh kriteria dan faktor distribusi yang disebut di atas bbiasanya telah menjadi bahan pertimbangan, dan menyelaraskan rasa kenyamanan dengan keadilan praktikal. Ini sesungguhnya bukan keadilan yang ideal tetapi dalam banyak kasus hal itu akan membawa tujuan keadilan tersebut sedekat mungkin ke dalam dunia yang tidak sepenuhnya sempurna.
————
Copyright © 2009 by Kevin Knight
Nihil Obstat. Remy Lafort, Censor. Imprimatur. +John M. Farley, Archbishop of New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar