PENCARIAN TERHADAP PIALA KEEMPAT


Oleh Dr. Scott Hahn


Saya ingat secara jelas tentang suatu percakapan dengan seorang teman pada suatu seminari Evangelical yang kami ikuti sepuluh tahun lalu. Sambil berjalan, ia mengatakan, “Scott, aku telah membaca hal yang menarik tentang sakramen-sakramen.”

“Sakramen-sakramen membuatku bosan,” jawab saya dengan tajam. Sedikit yang saya pahami.

Akhir-akhir ini saya memikirkan kejadian itu saat saya pulang dari satu jam yang penuh inspirasi dalam Adorasi yang diakhiri pemberian berkat. Saya mendapatkan dorongan yang kuat untuk menuliskan studi Alkitab yang membawa saya kepada suatu pemahaman yang Katolik tentang Ekaristi Kudus (yang  membawa saya menjadi anggota Gereja Katolik) sekitar lima tahun lalu [cat. Artikel ini ditulis tahun 1991].

Semuanya dimulai dengan suatu pelayanan Minggu pagi di suatu gereja Evangelical setempat yang saya hadiri bersama istri saya dalam tahun terakhir kami di seminari. Pendeta baru saja menyelesaikan suatu khotbah yang menarik tentang arti pengorbanan Kristus di Kalvari. Tetapi sesuatu yang ia katakan mengusik saya. Di tengah-tengah pesannya, ia mengajukan pertanyaan sederhana : “Dalam Yohanes 19:30, apa yang Yesus maksudkan saat Ia berteriak ‘sudah selesai’?  Apa yang sudah selesai?” Secara langsung jawaban standar Evangelical muncul di benak saya : perkataan Yesus itu menunjukkan tuntasnya penebusan kita pada saat itu.

Pendeta tersebut tampaknya mempelajari Alkitab dengan baik, sama seperti salah seorang professor favorit saya di seminari, sehingga saya tercengang saat ia lebih lanjut menunjukkan secara meyakinkan bahwa bukan itu yang dimaksud Yesus. Salah satu alasannya, Paulus mengajarkan bahwa penebusan kita tidaklah sempurna tanpa Yesus yang “dibangkitkan demi pembenaran kita” (Rom 4:25). Pendeta tersebut juga menunjukkan bahwa jawaban standar Evangelical adalah sesuatu yang diambil dari teologi dan dimasukkan ke dalam teks (eisegesis), bukannya diambil dari teks yang diinterpretasikan sesuai konteksnya (eksegesis). Yang lebih mengherankan saya lagi, ia secara terus terang menyatakan bahwa ia tidak punya jawaban yang memuaskan untuk pertanyaannya sendiri itu.

Saya tidak bisa mendengar kelanjutan khotbahnya. Pikiran saya mulai berpacu mencari jawaban. Jawaban itu datang setelah kelulusan saya, di tahun pertama saya sebagai gembala jemaat saat mempelajari Alkitab untuk persiapan serangkaian khotbah tentang apa yang oleh jemaat Presbyterian disebut “the Lord’s Supper.”

Tahap pertama dalam proses penemuan saya datang saat mempelajari latar belakang Perjanjian Lama dalam Perjamuan Terakhir Yesus. Peristiwanya adalah hari raya Roti Tak Beragi (Mrk 14:12-16). Peristiwa ini merayakan pembebasan Israel oleh Allah dari bangsa Mesir. Di malam yang menentukan itu, setiap anak pertama di Mesir mati kecuali yang berada di keluarga Israel dimana anak domba tak bercela dan tak ada tulangnya yang patah (Kel 12:5,46) disembelih dan dimakan sebagai kurban pengganti. Lalu Musa memimpin Israel keluar dari Mesir menuju Gunung Sinai, dimana Hukum Taurat diberikan dan perjanjian antara Allah dengan umat-Nya disegel melalui kurban dan kebersatuan (komuni).

Studi Alkitab terakhir tentang perjanjian oleh para ahli seperti D.J. McCarthy menunjukkan bahwa perjanjian semacam itu membentuk suatu ikatan darah-dan-daging yang suci antara Yahweh dan Israel, menjadikan mereka satu keluarga. Ikatan keluarga ini diekspresikan dalam istilah kekerabatan bapa dan anak (Kel 4:22; Ul 1:31, 8:5, 14:1) juga sebagai suami dan isteri (Yer 31:32; Yeh 16:8; Hos 2:18-20). Pesta-pesta dan ritual-ritual dalam liturgy adalah untuk melambangkan dan menguatkan persatuan kekeluargaan yang timbul dari perjanjian antara Yahweh dan Israel.

Ini adalah bagian penting dari pemahaman Yahudi tentang hari raya Roti Tak Beragi pada jaman Yesus. Adalah menarik bahwa Yesus untuk menggunakan istilah “perjanjian” hanya dalam satu kesempatan, saat Ia menginstitusikan Ekaristi selama perayaan Roti Tak Beragi di ruang atas : “Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka: "Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.” (Mrk 14:23-24). Dalam benak-Nya, sebagai Anak Sulung sekaligus Anak Domba Allah, terdapat hubungan antara perayaan Roti Tak Beragi dan pengorbanan diri untuk menetapkan perjanjian baru.

Tahap kedua dalam pencarian saya datang dari studi tentang liturgy hari raya Roti Tak Beragi Yahudi. Struktur dari tradisi bercerita [Seder] dalam hari raya Roti Tak Beragi, yang dikenal sebagai Haggadah, tampaknya sudah dibakukan jauh sebelum masa Yesus. Bahkan kenyataannya, catatan-catatan dalam Injil tampaknya mengambil struktur Haggadah saat mengisahkan detil-detil Perjamuan Terakhir. (Para pembaca boleh keberatan terhadap karakter proto-Talmud dari struktur liturgis Seder yang saya ambil. Seseorang boleh berargumen bahwa adalah menyalahi jaman (anakronistik) untuk menampilkan kembali liturgi Seder dari Mishnah kedalam abad pertama. Saya menanggapi dengan menujukkan bahwa hampir seluruh ahli mengenali persamaan bentuk yang menyolok antara liturgy Paskah Yahudi yang tertulis dalam Perjanjian Baru dengan Mishnah. Sebagai contoh, penyebutan “cawan pengucapan syukur” oleh Paulus (1 Kor 10:16) jelas berhubungan dengan piala ketiga. Saya tidak mengetahui ada pandangan yang menentang hal tersebut. Lebih lagi, Mishnah tidak dikenal sebagai suatu pendekatan baru terhadap reformasi liturgis. Jadi, selama saya tidak membangun argument saya di atas suatu identitas bentuk yang menyeluruh di antara keduanya, saya pikir saya menghindari segala bentuk anakronistik dan tetap berada di area yang aman – sesungguhnya, area aman yang sama dimana sebagian besar ekseget (seperti Joachim Jeremias) dan liturgiologis (seperti Joseph Jungmann).)

Pesta Roti Tak Beragi dibagi menjadi empat bagian. Pertama, bagian pembukaan yang terdiri dari suatu upacara pemberkatan (Kiddush) yang diucapkan atas piala anggur yang pertama, diikuti oleh penyajian hidangan herbal. Bagian kedua adalah pengucapan narasi hari raya Roti Tak Beragi dan “Little Hallel” (Mzm 113), diikuti dengan meminum piala anggur kedua. Bagian ketiga adalah hidangan utama, terdiri dari anak domba dan roti tak beragi, yang sesudah itu diminumlah piala anggur ketiga, yang dikenal sebagai “cawan pengucapan syukur”. Perayaan dipuncaki dengan menyanyikan “Great Hallel” (Mzm 114-118) dan meminum piala anggur keempat.

Para ahli Perjanjian Baru melihat pola ini ditampilkan dalam narasi Injil tentang Perjamuan Terakhir. Secara khusus, piala yang diberkati dan dibagikan oleh Yesus diidentifikasikan sebagai piala ketiga dalam Haggadah. Ini terlihat jelas dari penyanyian “Grear Hallel” yang mengikuti dengan segera “Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian..” (Mrk 14:26). Sesungguhnya, Paulus mengidentifikasikan “cawan pengucapan syukur” ini dengan piala Ekaristi (1 Kor 10:16).

Pada titik ini muncul masalah yang serius. Bukannya melanjutkan pada puncak perayaan Roti Tak Beragi, yaitu dengan diminumnya piala keempat, kita membaca : “Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian, pergilah mereka ke bukit Zaitun” (Mrk 14:26). Sementara sulit bagi orang Kristen non Yahudi yang tidak familiar dengan Haggadah untuk menerima adanya penyimpangan aturan dalam sekuens yang ditampilkan, ini adalah hal yang jelas bagi pembaca Yahudi serta mereka yang melakukan studi tentang Seder. Bagi mereka, tidak diminumnya piala keempat oleh Yesus dapat disamakan dengan seorang Imam yang tidak mengucapkan kata-kata konsekrasi pada Misa. Tujuan utama dari liturgy menjadi hilang.

Bukan hanya penghilangan tersebut yang tampak nyata, hal tersebut tampaknya digarisbawahi oleh ucapan Yesus pada ayat sebelumnya : “Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah” (Mrk 14:25). Tampaknya Yesus bermaksud tidak meminum apa yang seharusnya diminum-Nya. Di lain pihak, beberapa ahli berspekulasi bahwa factor psikologislah yang berperan dalam kelalaian Yesus itu. Mereka menunjuk pada ayat berikutnya : “..Ia sangat takut dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya..” (Mrk 14:33-34). Mungkin Ia terlalu gelisah untuk memikirkan hal-hal yang presisi sesuai liturgy saat melaksanakan rubric.

Walaupun alasan ini tampak masuk akal, refleksi selanjutnya menunjukkan bahwa hal tersebut adalah tidak mungkin. Untuk satu hal, jika Yesus sungguh gelisah dan bingung, tampaknya aneh jika Yesus melupakan dan menghentikan liturgy hari raya Roti Tak Beragi segera setelah menyatakan niat-Nya untuk tidak meminum piala keempat, terutama saat Ia telah menyanyikian “Great Hallel”. Mengapa Ia menyatakan maksud-Nya sedemikian jelas sebelum bertindak diluar aturan tersebut? Tindakan-Nya yang lain malam itu mengindikasikan seseorang yang tak dapat disangkal sedang dalam pergumulan tapi berada dalam penguasaan diri yang penuh. Mengapa Ia lalu memilih tidak minum?

Tahap ketiga dalam proses penemuan saya tercapai saat jawaban terhadap pertanyaan tersebut tampak menjadi lebih nyata dengan saya berfokus pada doa Yesus di Taman Getsmani. Perhatikan apa yang didoakan-Nya : “Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39). Tiga kali berturut-turut Yesus berdoa pada Bapa-Nya untuk melalukan “cawan ini”. Satu pertanyaan wajar muncul : Piala apa yang dimaksudkan Yesus? (Beberapa ahli menjelaskan ucapan Yesus dengan mengidentifikasinya sebagai “piala murka Allah” dalam kitab nabi-nabi di Perjanjian Lama (Yes 51:17, Yer 25:15). Jelas ada hubungan di sini, tetapi hubungan itu terlihat kurang langsung dibanding dengan tata cara hari raya Roti Tak Beragi. Perhatikan bagaimana niat Yesus untuk tidak meminum “hasil pokok anggur” tampak muncul kembali dalam suatu kesempatan di Golgota tepat sebelum Ia disalibkan : “Lalu mereka memberi anggur bercampur mur kepada-Nya, tetapi Ia menolaknya” (Mrk 15:23). Narasi tersebut tidak menyebutkan alasan penolakan-Nya, tetapi kemungkinan besar merujuk pada janji Yesus untuk tidak minum sampai Kerajaan-Nya terwujud dalam kemuliaan. Pada kesempatan lain, Injil sinoptik sering menceritakan ucapan Yesus yang menghubungkan perumpamaan pesta perjamuan dengan kemuliaan Kerajaan-Nya (bdk. Mat 22:1-dst; Luk 22:15-dst).)

Tahap keempat dari proses yang telah saya sebutkan tercapai saat saya menemukan dalam Injil Yohanes suatu perspektif tentang kemuliaan Kerajaan Yesus yang dengan jelas berbeda dengan dengan yang ditemukan dalam Matius, Markus dan Lukas. (Kritikus mungkin mengatakan bahwa apa yang sedang saya lakukan adalah rapuh secara metodologi dan mengkritisi diri sendiri (suatu kesalahan oleh si pencetus ide) karena saya menghubungkan Injil sinoptik dengan catatan-catatan Yohanes dalam argument saya. Tanggapan saya adalah saya menganggap bahwa eksegese kritis telah dilakukan dan menunjukkan bahwa Injil-injil sinoptik dan Injil Yohanes berbeda tetapi saling melengkapi dan tidak saling bertentangan. Karena itu, langkah saya berawal dari wilayah teologi biblical, dimana hasil-hasil eksegese dihubungkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teologis. Hal lain berkenaan dengan Injil Yohanes : Saya menemukan dalam riset saya bahwa karakter perjamuan Roti Tak Beragi dalam Perjamuan Terakhir telah dibuang oleh orang-orang Katolik yang berpola pikir “aku-lebih-kritis-dari-kamu”. Saya menemukan bahwa apa yang disangka sebagai pertentangan antara Injil-injil sinoptik dan Injil Yohanes telah terpecahkan secara memuaskan oleh Annie Jaubert, “The Date of the Last Supper” (Staten Island : Alba House, 1965). Dia berargumen bahwa terdapat dua penanggalan yang digunakan dalam masa Kristus dan menerima kesaksian Siria kuno tentang suatu institusi Ekaristi pada “Kamis Suci”. Tentu saja, terdapat beberapa keberatan di sana, tetapi karyanya membantu mengharmonisasikan lima pengadilan yang dialami Yesus (Hanas, Kayafas, Pilatus, Herodes dan Pilatus lagi), yang lebih cocok dengan kerangka waktu Kamis-ke-Jumat daripada kerangka Selasa-tengah malam-sampai-pagi. Dia juga mempublikasikan suatu artikel yang berargumen bahwa kisah-kisah Yohanes tentang ruang atas memberikan latar belakang perjamuan Roti Tak Beragi, “The Calendar of Qumran and the Passion Narrative in John” dalam J. Charlesworth, ed., “John and Qumran” (London : Geoffrey Chapman, 1972), 62-75. Saya telah membaca kritik terhadap thesis Jaubert, tetapi saya tidak melihat ada alasan yang cukup kuat dibelakangnya; untuk ikhtisar popular mengenai masalah tak memiliki dasar yang jelas ini, lihat Raymond Brown, “The Date of the Last Supper” dalam “The Bible Today Reader” (Collegeville : Liturgical Press, 1973), 322-28). Yohanes mendasarkan pada ironi yang melukiskan kemuliaan Kerajaan Yesus dengan penderitaan di salib : “Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: ‘Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan…Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar; dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.’ Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati” (Yoh 12:23, 31-33).

Dengan wawasan spiritual yang mendalam, Yohanes menghubungkan “saat kemuliaan” dengan perwujudan tertinggi dari kasih-Nya di atas salib (Yoh 3:14; 7:37-39; 8:28; 13:31). Mengikuti hal ini sampai akhir dair Injil keempat, saya mulai memperhatikan beberapa tempat di mana Yohanes secara bebas merangkai berbagai gambaran tentang Kerajaan dan perayaan Roti Tak Beragi dalam melukiskan pengadilan dan sengsara Yesus. Hasilnya adalah suatu gambaran yang lebih mendekati kepada apa yang dimaksud Yesus saat Ia mengucapkan : “Sudah selesai” (Yoh 19:30).

Pertama, klaim Yesus terhadap martabat kerajaan di Injil Yohanes datang saat Ia tampak lemah dan kalah – saat ia berdiri sebagai tertuduh di hadapan Pilatus (Yoh 18:33-37). Respon sinis dari Pilatus adalah dengan mengenakan jubah berwarna ungu pada-Nya dengan sebuah mahkota duri dan menampilkan-Nya ke hadapan rakyat-Nya sendiri yang tidak mempercayai-Nya : “Hari itu ialah hari persiapan Paskah, kira-kira jam dua belas [tambahan penerjemah : Vulgate dan Textus Receptus menyatakan “waktu keenam”]. Kata Pilatus kepada orang-orang Yahudi itu: ‘Inilah rajamu!’. Maka berteriaklah mereka: ‘Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia!’” (Yoh 19:14-15). Yohanes menyadari bahwa jam keenam adalah saat para Imam mulai menyembelih anak domba untuk hari raya Roti Tak Beragi.

Kedua, hanya Yohanes yang menyebutkan bahwa jubah Yesus yang tak berjahit ditanggalkan (Yoh 19:23-24). Persamaan kata “pakaian” (chiton) digunakan dalam Perjanjian Lama untuk jubah resmi yang digunakan Imam Agung saat pengorbanan (Kel 28:4; Im 16:4). Ini dimaksudkan untuk mengingatkan umat beriman yang membacanya bahwa Yesus, Raja dan Anak Domba Paskah yang mulia, sekaligus juga Imam Agung Perjanjian Baru (Yoh 19:23-24).

Ketiga, identifikasi Yesus sebagai anak domba dalam hari raya Roti Tak Beragi dikuatkan oleh catatan Yohanes bahwa tulang Yesus tidak ada yang dipatahkan, seperti yang dipersyaratkan oleh Hukum Taurat tentang anak domba hari raya Roti Tak Beragi (Kel 12:46) : “Sebab hal itu terjadi, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci: ‘Tidak ada tulang-Nya yang akan dipatahkan.’" (Yoh 19:33, 36). Hal tersebut menggenapi kata-kata yang digunakan  Yohanes di awal Injilnya : “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1:29).

Secara bertahap, tema hari raya Roti Tak Beragi dan Kerajaan pada Injil Yohanes mulai berkumpul dalam pikiran saya saat saya berusaha memahami pernyataan Yesus “Sudah selesai” (Yoh 19:30). Karena suatu hal, saya memperhatikan bahwa Raja, Imam dan anak domba paskah ku, dalam “saat kemuliaan”-Nya di atas salib, melakukan tindakan yang penting “Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia--supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci--:’Aku haus!’”

Yesus sudah haus jauh sebelum saat yang menentukan dalam hidup-Nya ini. Oleh karena itu, ucapan-Nya pasti merefleksikan sesuatu yang lebih dari sekedar keinginan terakhir-Nya untuk minum cairan. Ia tampak dalam penguasaan diri sepenuhnya saat Ia menyadari bahwa “segala sesuatu telah selesai”. Bagaimanapun, “segala sesuatu telah selesai” tampak berhubungan langsung dengan ucapan-Nya, yang Ia ucapkan dengan maksud “supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci”. Segala sesuatu tampak menempati tempatnya masing-masing saat melanjutkan membaca ekspresi kehausan-Nya : “Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus” (Yoh 19:29). Hanya Yohanes yang memperhatikan bahwa hisoplah yang digunakan, sesuai yang dipersyaratkan dalam hari raya Roti Tak Beragi untuk mengoleskan darah anak domba (Kel 12:22).

Ayat tersebut menunjukkan sesuatu yang signifikan. Yesus telah membiarkan liturgy hari raya Roti Tak Beragi di ruang atas tidak selesai dengan tidak diminumnya piala keempat. Ia menyatakan niat-Nya untuk tidak meminum anggur lagi sampai Ia datang dalam kemuliaan kerajaan-Nya. Sebagaimana yang kita lihat, Ia menolak minum anggur pada satu kesempatan, tepat sebelum Ia dipaku di salib (Mrk 15:23). Kemudian, pada saat terakhir, Yesus ditawari “anggur asam” (Yoh 19:30; Mat 27:48; Mrk 15:36; Luk 23:36). Tapi hanya Yohanes yang mengatakan pada kita bagaimana reaksi Yesus : “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30).

Akhirnya saya memperoleh jawaban dari pertanyaan saya. Adalah pesta hari raya Roti Tak Beragi yang sudah selesai. Lebih tepatnya, adalah transformasi Yesus dari pengorbanan pada hari raya Roti Tak Beragi untuk Perjanjian Lama menjadi pengorbanan Ekaristi untuk Perjanjian Baru. Saya mempelajari bahwa Alkitab mengajarkan bahwa pengorbanan pada hari raya Roti Tak Beragi untuk Perjanjian Baru dimulai di ruang atas dengan diinstitusikannya Ekaristi, bukan hanya saat Yesus disalibkan di Kalvari, sebagaimana yang pikir dan selalu diajarkan pada saya. Dalam pikiran Yesus, pengorbanan Ekaristiknya sebagai anak domba Paskah Perjanjian Baru tidak selesai sebelum mencapai Kalvari. SIngkatnya, Kalvari dimulai dengan Ekaristi dan Ekaristi diakhiri dengan Kalvari. Itu adalah satu kesatuan.

Tidak terpikir oleh saya saat itu bahwa inilah ajaran Gereja Katolik tentang pengorbanan Kristus dalam Ekaristi. Saya saat itu masih anti-Katolik dalam wawasan teologis saya sebagai seorang Protestan Evangelical, walaupun harus saya akui saya sebelumnya belum pernah membaca satupun tulisan-tulisan Katolik yang mennjelaskan dan membela ajaran Gereja. Selain itu, saya belum pernah hadir dalam Misa. Di lain pihak, beberapa jemaat dan siswa saya adalah para mantan Katolik, dan beberapa dari mereka memperingatkan saya terhadap kecenderungan “berbau Roma” yang tampak pada diri saya. Saya meyakinkan mereka bahwa saya hanya akan menuruti Alkitab.

Studi lebih lanjut terhadap masalah tersebut membawa saya pada revisi tambahan. Karena satu hal, saya mencari klarifikasi dan konfirmasi di tempat lain dalam Alkitab untuk kesimpulan saya sehubungan dengan hubungan yang tak terpisahkan antara kurban Roti Tak Beragi Yesus dalam Ekaristi dan kurban Yesus di Kalvari. Secara khusus, studi lebih lanjut terhadap Injil Yohanes memberikan dukungan yang nyata terhadap kesimpulan tersebut, terutama dalam ucapan Yesus tentang Roti Hidup di bab enam.

Dalam ucapan tersebut dinyatakan secara eksplisit : “Dan hari raya Roti Tak Beragi, hari raya orang Yahudi, sudah dekat” (Yoh 6:4). Yohanes menunjukkan bagaimana Yesus melakukan mujizat pemberian makan bagi lima ribu orang setelah “Ia mengucap syukur (eucharistesas),” dengan demikian membangkitkan gambaran tentang Ekaristi. Yesus lalu mengidentifikasikan diri-Nya sebagai “roti yang benar dari sorga” (Yoh 6:32) dan “roti hidup” (Yoh 6:35), memberikan suatu parallel terhadap Musa, yang melaluinya Allah secara supernatural memberi makan bangsa Israel saat sedang membentuk suatu perjanjian dengan mereka tepat setelah hari raya Roti Tak Beragi yang pertama (Kel 16:4). Dengan cara tersebut Yohanes menyiapkan pembacanya untuk memahami bagaimana Yesus membentuk suatu keluarga perjanjian baru melalui kurban Ekaristi-Nya sendiri sebagai Imam Agung sekaligus kurban paskah.

Bahkan kesaksian yang lebih jelas diberikan saat Yesus menyatakan : “sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:53-56).

Saya ingat betul saat pertama kali mempelajari teks tersebut di tengah-tengah proses pencarian saya. Rasanya seperti saya ternyata belum memahami benar kata-kata tersebut sebelumnya, meskipun saya sudah membaca Injil keempat tersebut sampai habis berulangkali. Menjadi nyata bahwa Yesus telah menggunakan bahasa yang sangat kuat untuk menyampaikan hubungan antara kurban-Nya sebagai anak domba paskah dan Ekaristi, bahkan dihadapan ketidakpercayaan dan kegoncangan (Yoh 6:60-69).

Alasan bagi hubungan tersebut terdapat pada hari raya Roti Tak Beragi Perjanjian Lama itu sendiri. Tidaklah cukup dengan membunuh anak domba. Kematian hanyalah salah satu aspek dari pengorbanan. Tujuan utamanya adalah memulihkan hubungan [communion] antara Allah dengan umat-Nya, yang dengan jelas disempurnakan oleh pesta perjamuan Roti Tak Beragi. Dengan kata lain, anak dombanya harus dimakan. Kurban kematian Yesus, yang dimulai dari ruang atas dan diakhiri di Kalvari, bukanlah sepenuhnya akhir dari kurban paskah-Nya. Tujuan utamanya adalah memulihkan kebersamaan, komunio, yang disempurnakan melalui Ekaristi. Dengan demikian, kita juga harus memakan anak domba tersebut.

Paulus memberikan pandangan yang serupa saat ia menyatakan, “Sebab anak domba paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus” (1 Kor 5:7). Perhatikan bahwa ia tidak menyimpulkan, “Tak ada lagi yang harus dilakukan”. Melainkan, ia berkata tepat di ayat berikutnya, “Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian dan kebenaran” (1 Kor 5:8). Dengan kata lain, ada yang tertinggal bagi kita untuk dilaksanakan. Kita harus berpesta atas Yesus, Roti Hidup dan Anak Domba Paskah kita.

Paulus menguatkan realitas komunio ini di banyak tempat : “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan (koinonia) dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan (koinonia) dengan tubuh Kristus?” (1 Kor 10:16). Bahasa seperti itu merefleksikan kepercayaan yang solid terhadap kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi. Tak heran Paulus mengingatkan, “Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Kor 11:29).

Saya melihat wawasan yang sama dalam Surat kepada Umat Ibrani. Ini merupakan kejutan, karena saya selalu mengajarkan, sebagaimana saya telah diajarkan, bahwa Ibrani, lebih dari segala kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya, menentang doktrin Katolik tentang Ekaristi sebagai suatu kurban. Tema utama dari Ibrani adalah keimaman Yesus, terutama dalam hubungannya dengan kurban-Nya yang “satu kali untuk selama-lamanya” (Ibr 7:27; 9:12, 26; 10:10). Hal ini dengan jelas dinyatakan : “Inti segala yang kita bicarakan itu ialah: kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk di sebelah kanan takhta Yang Mahabesar di sorga, dan yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu di dalam kemah sejati, yang didirikan oleh Tuhan dan bukan oleh manusia” (Ibr 8:1-2).

Tidak seperti para Imam dalam Perjanjian Lama, Yesus tidak mempersembahkan kurban yang berbeda setiap harinya (Ibr 7:27). Di lain pihak, “setiap Imam Besar ditetapkan untuk mempersembahkan korban dan persembahan dan karena itu Yesus perlu mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan” (Ibr 8:3). Apakah ini berarti bahwa kurban Yesus yang “satu kali untuk selama-lamanya” adalah sesuatu yang lampau? Atau tidakkah itu berarti bahwa kurban Yesus, karena karakter “satu kali untuk selama-lamanya”, telah menjadi satu persembahan yang sempurna dan abadi yang terus-menerus disajikan Kristus di surga bagi kita? Kesimpulannya adalah bahwa Yesus tidak lagi berdarah, menderita, ataupun mati (Ibr 9:25-26). Dia bertahta dalam tubuh manusia yang telah bangkit dan dimuliakan sebagai Raja dan Imam Agung kita (Ibr 7:1-3).

Dalam cara tepat seperti itulah Bapa memandang persembahan yang sempurna dan abadi dalam tubuh Putera yang hidup. Jika kurban Kristus adalah lampau, maka tak ada dasar bagi kelanjutan keimaman-Nya, tapi keimaman Yesus dinyatakan “tetap selama-lamanya” (Ibr 7:24). Lebih lanjut, tak ada dasar bagi altar di dunia jika kurban Yesus telah lampau, sebagaimana yang saya imani saat menjadi Protestan Evangelical – sampai saya menemukan bahwa Alkitab mengajarkan sebaliknya : “Kita mempunyai suatu mezbah dan orang-orang yang melayani kemah tidak boleh makan dari apa yang di dalamnya” (Ibr 13:10). Karakter “satu kali untuk selama-lamanya” dari kurban Yesus menunjuk pada kesempurnaan dan keabadian kurban-Nya. Kurban itu dapat dihadirkan kembali di atas altar dalam Ekaristi sehingga “marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibr 13:15).

Penegasan akhir datang pada saya saat saya sampai pada tampilan yang menyukakan dalam penglihatan Yohanes di kitab Wahyu. Setelah mendengar malaikat mengumumkan kemunculan Yesus sebagai “singa dari suku Yehuda,” Yohanes memandang dan menyaksikan “berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih” (Why 5:5-6).

Dengan kata lain, Ia yang adalah Imam selebran dan Raja yang berkuasa bagi kita dalam penyembahan liturgis dalam perjamuan surgawi juga terus-menerus hadir sebagai Anak Domba Paskah Perjanjian Baru. Ia tampil sebagai Anak Domba karena kurban persembahan-Nya selalu berlangsung. Kurban itu akan terus berlangsung hingga Ia memulihkan persatuan dengan seluruh anak-Nya melalui Ekaristi. Sungguh, kurban itu akan terus berlangsung dengan cara seperti itu bagi keluarga Allah untuk selamanya. Bagaimanapun juga, keterberkatan kita yang berlangsung selamanya dilukiskan dalam penglihatan Yohanes tentang Yerusalem Baru sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:9; 21:2,9-10; 22:17).

…………

Dr. Scott Hahn adalah mantan pendeta Presbyterian, mengajar teologi di Fransiscan University of Steubenville.

Artikel di atas di muat di majalah “This Rock” volume 2 nomor 4, September 1991

http://archive.catholic.com/thisrock/1991/9109fea1.asp


Terjemahan diselesaikan pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, 10 Juni 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar